Translate

Jumat, 19 Desember 2014

KISAH LEMBAH HIJAU (Ketegaran Wanita)

KETEGARAN WANITA
“Banyak orang yang mengatakan bahwa aku mandul, aku pun menyadari mungkin itu benar. Hampir 10 tahun aku menikah dengan Mas Irwan, kami belum dikaruniai seorang anak. Hingga di tahun ke sebelas, kami memutuskan untuk bercerai. Sejujurnya aku masih mencintai Mas Irwan, tapi mantan mertuaku yang selalu merong-rong Mas Irwan menikah lagi untuk mendapatkan keturunan, aku menyerah. Bisa saja Mas Irwan memadu aku, tetapi ia yang seorang aparat dan terikat dinas, tidak memungkinkan untuk memiliki istri lebih dari satu. Aku mengalah dan bercerai. Tiga bulan setelah perceraian kami, Mas Irwan menikah lagi dengan wanita pilihan orang tuanya.  Kini usiaku sudah 30 tahun, ketika aku menikah dulu, usiaku baru menginjak 19 tahun. awalnya ku frustasi, tapi aku harus nelanjutkan hidupku. Aku berusaha melupakanmu.” Tulis Zarima dalam selembar kertas lalu memasukkannya dalam sebuah botol dan membuangnya ke lautan luas.
Sudah 3 bulan Zarima bekerja di kedai makanan milik orang Chinese, karena ijazahnya yang Cuma lulusan SMK Tata Boga, terlebih lagi usianya yang sudah memasuki kepala tiga menyabebabkan Rima, panggilan akrab Zarima, kesulitan mendapatkan pekerjaan lain. Akhirnya ia bekerja di kedai makanan yang lokasinya tak jauh dari asrama tentara tempatnya dulu tinggal bersama Irwan, mantan suaminya. Sebenarnya berat bagi Rima untuk bekerja di tempat yang lokasinya cukup berdekatan dengan rumah mantan suaminya.
Matahari sudah setinggi batas kepala, siang itu beberapa ibu-ibu berseragam persit datang ke kedai, sebagian dari  mereka mengenal Rima. Ibu-ibu itu mulai berkasak-kusuk saat melihat Rima, Rima tak peduli, ia tahu kebiasaan ibu-ibu asrama memang seperti itu. sampai salah satu ibu yang berbadan gempal yang sangat Rima kenal bernama Bu Nandang berceletuk, “Ya ampun Bu Irwan, eh Bu Rima, kok bisa jadi begini sekarang.” Kata-kata Bu Nandang yang mengiba tapi nadanya mengejek. Rima hanya tersenyum datar, dalam hati Rima berkata, “Ya Allah, kuatkanlah aku.”
“Iya bu, kasihan ya. Tuhan memang maha adil, di kasih wajah cantik tapi nggak bisa punya anak, mending wajah jelek tapi bisa punya anak,” Bu Pandu menimpali. Semakin kecil hati Rima, ia tak mengerti apakah semua itu sindiran untuknya. Selama ini Rima sudah kenyang memakan semua sindiran yang berhubungan dengan anak atau tanpa anak, mungkin sakitnya sudah menumpuk. Rima mengelus dada, berharap mereka segera mengalihkan pembicaraan itu.
“Kalian ini kenapa sih, mulutnya jahat banget,” hardik Bu Agus, Rima mengenal Bu Agus dengan baik.
“Nggak apa-apa Bu Agus, biar saja, saya sudah terbiasa. Hmm, ibu-ibu mau pesan apa ini, menunya enak-enak lho,” ujar Rima berusaha tegar.
“Bu, ini mejanya kotor, tolong di lap ya!” kata salah satu pengunjung kedai.
Rima dengan sigap bersiap, “Baik Bu.”
Rima tak banyak bicara, ia hanya menunduk bergelut dengan lap dan meja yang kotor di hadapannya. Ia tak berekspresi apapun, menyembunyikan rasa sedihnya, dia mengenang saat dulu ia mengenakan seragam persit seperti mereka. Tak disangka, Rima pun tak pernah membayangkan akan seperti ini akkhirnya, melap meja, melayani tamu dengan kesabaran meski perasaannya teraniaya.
Mereka semua tak mengerti perasaan Rima, mungkin karena mereka lupa bahwa masih ada langit diatas langit. Tidak ada yang tahu nasib seseorang kedepannya, bisa saja mereka punya anak perempuan atau cucu perempuan yang mungkin bernasib sama denga Rima alamai, mereka lupa itu.
Sore itu Rima pamit pada pemilik kedai yang biasa di panggil Cik Wen, untuk pulang. Rima berdiri menunggu angkutan umum yang biasa lewat sore hari itu, tapi tak di sangka Rima melihat mantan suaminya, dan...istri barunya, pengganti Rima. Mereka sedang berjalan-jalan sore. Rima kebingungan, ia berlari dan bersembunyi di balik pohon. Rasanya Rima belum siap jika mereka bertiga harus bertemu. Melihat mereka, hati Rima terasa sesak, Rima jongkok dan menyembunyikan wajahnya yang pilu, meski sudah berusaha melupakan tapi sungguh sulit, apalagi belum setahun mereka bercerai, rasanya Irwan seperti mengkhianatinya, rasanya sakit, sakit, sakit. “Ya Allah, apa yang harus kukatakan padamu, kau tahu betapa sakitnya perasaanku ini, dulu aku yang selalu menemani Mas Irwan berjalan-jalan sore, dulu aku yang ada di posisi itu.” Rima menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya, ia kembali menengok apakah Irwan dan istrinya telah berlalu. Mata Rima memperhatikan tangan Irwan dan istri barunya yang bergandengan. “Ya Allah, aku pasrahkan hidupku padaMu, teguhkan hatiku bahwa dia bukan jodohku, tampar perasaan lemahku ini.” Rima selalu berusaha utuk menguatkan dirinya.
Keesokan hari seperti biasa, Rima bangun untuk menunaikan sholat Subuh serta melanjutkan kegiatan pagi lainnya. Ketika pertama bangun pagi, ia melirik bantal di sebelahnya, tak ada siapa-siapa disana, Rima kini sendiri. Tak jauh berbeda saat ia menyiapkan makanan di meja, sekarang ia harus makan sendiri, tak lagi menyiapkan makan suaminya, tak lagi menghidangkan kopi panas di gelas khusus untuk suaminya, tak lagi menyiapkan baju dinas suaminya. Semua itu tak lagi terjadi. Tak menampik, kadang Rima merindukan itu semua. Bagaimanapun itu aktivitas rutin selama 10 tahun menjadi istri Irwan, bukan hal yang mudah membiasakan diri tak melakukan lagi semuanya itu. untuk membuang rasa sepi itu, Rima lebih banya berzikir disetiap aktivitasnya, sedih itu pasti, namun satu kenyataan adalah hidup itu tetap terus berjalan.
Sekitar jam 8 pagi Rima sudah mulai bekerja di kedai makanan Cik Wen. Dimulai dari mebereskan meja, menyiapkan bahan-bahan masakan dan lainnya. Cik Wen sendiri sangat terbantu dengan adanya Rima, ia menyukai Rima karena ketekunannya dan kreativitasnya menginovasi masakan. Sebenarnya itu bukan hal yang sulit buat Rima, karena ia memang pandai mengolah bahan masakan. Satu persatu pelanggan kedai mulai berdatangan, Rima selalu tersenyum menyambut mereka. Sampai siang kedai Cik Wen ramai, bahkan sejak Rima bekerja, kedai menjadi lebih ramai dari sebelumnya. Siang itu Rima dikejutkan oleh tamu yang datang ke kedai, dia Zarina, kakak kandung Rima. Rima kemudian menemui kakaknya setelah diijinkan Cik Wen.
“Kak Rina ada angin apa kemari?” tanya Rima senang, ia memegangi lengan sang kakak. Zarina pun tersenyum lalu memeluk adiknya itu.
“Rima, aku bersama temanmu kemari,” ujarr Rina.
“Siapa kak?” tanya Rima penasaran.
“Rimaaaaa,” teriak seorang wanita yang berlari kecil kemudian memeluk Rima.
“Puput? Puput ya ampun, lama tidak bertemu.” Rima terharu bertemu kembali kawan lamanya itu.
Mata Puput berkaca-kaca, “Rima, maaf aku baru mengetahuinya, aku sangat sedih mendengarmu sudah bercerai.” Mata Puput menatap prihatin, “Lalu kau sekarang bekerja di sini?”
Rima hanya tersenyum, agak dipaksakan.
“Rima, kalau kamu butuh bantuan apapun, aku siap membantumu.” Puput menggenggam tangan Rima. Puput adalah sahabat Rima di SMK dulu, mereka berdua sangat akrab, bahkan Puput tahu awal pacaran Rima dan Irwan.
“Put, bukannya kamu di Bengkulu ikut tugas suamimu kesana?” tanya Rima.
“Iya, tapi minggu lalu aku pindah ke sini. Kebetulan kemarin aku ketemu kak Rina di Bank, pas aku mau nabung. Lalu kutanya kabarmu pada Kak Rina.”
“Iya Rima, kemarin aku tak sengaa ketemu Puput. Dan aku janjian hari ini untuk sekalian menjengukmu, mumpung ini hari sabtu, Bank buka setengah hari,” ujar Rina yang seorang Teller di sebuah Bank.
“Rima, Kak Rina sudah cerita semuanya tentangmu dan Irwan. Aku minta maaf ya Rima jika kata-kataku ini mungkin menyinggungmu tapi Mas Irwan kok tega sekali membiarkan perceraian kalian. Ya Allah...Rima, kuingat dulu saat Mas Irwan PDKT sama kamu, saat itu dia masih pendidikan Secaba, dia bela-belain nemuin kamu untuk mengatakan dia cinta sama kamu, padahal saat itu dia belum diperbolehkan weekend. Aku jadi ingat saat Mas Irwan mengirimkan rangkaian bunga ke sekolah, sampai-sampai kamu disorakin teman-teman,” kenang Puput.
“Sudah Put, jangan di teruskan.”  
“Maafkan aku Rima, aku sangat minta maaf tapi aku tidak terima kamu, sahabatku, dan sekarang diperlakukan seperti ini,” kata Puput geram.
“Iya Rima, aku sedih dek melihatmu seperti ini sekarang, tadi aku melihatmu mencuci piring membersihkan meja dek, seandainya dulu kamu mau untuk kuliah, setidaknya jika kamu punya gelar sarjana seperti aku, kamu bisa mendapatkan kerja yg lebih baik. Dulu Irwan segera melamarmu sesaat setelah kamu lulus SMK, padahal aku sudah menyarankanmu kuliah dan kerja dulu sebelum menikah.” Rima menatap iba adiknya, Rima tak berkata apapun, dia berusaha sabar dan tersenyum. Rima tahu, kakaknya maupun sahabatnya berkata demikian karena mereka berdua sayang sama Zarima.
“Rima aku juga minta maaf padamu, sewaktu dulu kita masih kecil sejujurnya aku selalu iri padamu, kamu cantik, ibu dan bapak selalu membanggakanmu karena kamu selalu juara kelas, aku selalu di nomer duakan, apalagi saat kamu remaja, banyak sekali yang mendekatimu sampai akhirnya kau menikah lebih dulu dan melangkahiku Rima, ya Allah, Rima adekku, kemana kamu yang dulu, jika tahu hidupmu seperti ini sekarang.” Rina sedih melihat nasib adiknya kini, air mata Rina menetes. Rima masih tersenyum lalu mengusap air mata kakaknya.
“Kak Rina tidak boleh begitu. Ini semua takdir Allah kak, yang aku butuhkan dari kak Rina dan Puput, hmm, tolong doakan aku, cukup itu saja. Yang lalu biarlah berlalu.” Rima berusaha menepis kesedihan kakaknya. Puput dan Rina menunduk mendengar perkataan Rima.
Sore itu Rima pulang dari kedai seperti biasanya, saat akan menunggu angkutan, tiba-tiba sebuah motor berhenti di sebelah Rima.
“Dek Rima mau pulang? yuk mas anterin,” kata Romi, Rima mengenal laki laki ini, dia satu letting sama Irwan, bukannya Rima ge-er tetapi Rima tahu gelagat Romi yang berusaha mendekati Rima dua bulan ini. Tiap saat Romi datang sekedar makan di kedai dan kadang berpura-pura kebetulan lewat saat sorenya, berusaha mendekati Rima dengan menawarkan tumpangan pulang. Tetapi yang membuat Rima tak simpatik dan cenderung sebal pada Romi karena ia sudah beristri, Rima kenal dengan istri Romi, apalagi istri Romi baru saja melahirkan. Rima berpikir tega-teganya laki-laki ini mendholimi istrinya yang baru saja berjuang melahirkan darah dagingnya sendiri.
“Maaf Mas Romi saya naik angkot saja,” tolak Rima.
“Ayolah dek Rima, kebetulan kita searah kok,” ajak Romi tak menyerah.
“Maaf sekali lagi Mas Romi, kalau mau duluan silahkan saja, saya tidak enak jika Mas Romi berlama-lama sama saya disini, nanti ada prasangka orang.” Rima memandang kearah jalan raya berharap ada angkutan yang segera bisa membawanya jauh dari Romi.
“Ah kamu alasan saja, ayolah Rima, jangan jual mahal.” Kali ini kata-kata Romi kelewat batas dan membuat Rima tersontak kaget.
“MasyaAllah mas, saya bukan wanita seperti itu, Astagfirullah..” Rima masih schock dengan kata-kata melecehkan Romi.
“Lho Bu Rima sama Pak Romi ngapain berduaan disini?” kata seorang ibu yang kebetulan lewat, dia Bu Musa, sang biang Ghosip di asrama. “Hmm, ada gelagat tidak baik ini,” lanjut Bu Musa lagi.
Rima segera menyetop angkutan dan segera bergegas naik angkutan. “Maaf Bu Musa, Mas Romi. Saya pamit duluan.” Rima dan segera berlalu.
Kesedihan Rima tak berhenti hanya disitu, didalam angkutan dia bertemu dengan seorang bapak, bernama Pak Mulyanto.
“Lho ini Bu Irwan kan?”
Rima tersenyum ramah tamah, “Iya pak, tapi panggil saja saya Bu Rima.” Lagi-lagi nama Irwan tak lepas dari hidup Rima.
“Lho, oh iya, maaf bu saya lupa kalau Bu Irwan eh Bu Rima sudah nggak sama Pak Irwan lagi.”
“Iya pak, nggak apa-apa.” jawab Rima singkat.
“Wah bu saya ingat banget pas pertama kali Bu Rima sama pak Irwan di asrama ini, mesra banget, kemana-mana Bu Rima selalu dianterin sama pak Irwan, duh bu eman-eman banget kok pisah.”
Sebenarnya kata-kata Mulyanto ini adalah hal umum tapi bagi Rima sama saja membuka luka lama. Ia jadi mengenang, dulu pertama kali menyususri jalan ini bersama Irwan, di bulan Desember, saat hujan mengguyur deras, Irwan menutupi kepala Rima dengan jaketnya karena tak membawa payung. Rima menghela nafas, “Oh Tuhan, semua cepat sekali berlalu,” ucap Rima lirih dalam hatinya.
Malam hari setelah Rima pulang dari Masjid untuk sholat Isya, ia mampir ke pasar yang tidak terlalu jauh dari rumah kontrakannya untuk membeli martabak telor. Ternyata di situ ia bertemu Bu Andy, mantan ibu Dantonnya dulu.
“Selamat malam ibu,” sapa Rima ramah.
“Eh, Bu Rima kok bisa disini?” Bu Andy setengah terkejut melihat Rima.
“Iya ibu, rumah kontrakan saya deket dari sini. Kalau ibu berkenan mampir ke rumah Bu.” Rima menunjuk beberapa gang di depannya.
“Iya Bu Rima terima kasih. Ini lho bu, anak saya Salsa dari sore nangis terus minta martabak, mana saya lagi sibuk,” kata bu Andy sambil menarik pergelangan tangan anaknya yang berumur 7 tahun itu, terlihat sekali wajah Bu Andy yang tengah kesal pada sang anak. “Mbak Salsa cantik, kepengen martabak ya?” Kata Rima ramah sambil mengusap rambut Salsa lembut.
“Ah, ini anak nakal bu,” ujar Bu Andy, kemudian Bu Andy menceritakan tiap kenakalan anaknya. Rima mendengarkan keluh kesah bu Andy dengan sabar, sesekali Rima mengelus kembali rambut Salsa. Dalam hati, Rima merasa Bu Andy belum terbuka mata bathinnya, dia tak sadar jika dia telah dikaruniai mutiara indah dari Allah, yaitu seorang anak yang selama bertahun tahun menjadi harapan Rima tapi belum rejeki Rima. Rima menganggap bu Andy kurang bersyukur. Rima berandai-andai, seandainya dia yang di karuniai seorang anak, senakal apapun Rima tetap bersyukur. Karena ia tahu betapa dukanya tanpa kehadiran buah hati dalam sebuah pernikahan, seolah-olah semua mata memandangnya sebagai wanita yang tak utuh.
“Oh iya Bu Rima, Pak Samsir-Danki yang lama sudah diganti lho?”
“Lho knapa bu?”
“Iya, Pak Samsir sakit stroke bu, penggantinya namanya Pak Surya, tapi pak Surya juga kayaknya nggak lama di situ soalnya mau Selapa. Pak Surya ini masih muda lho bu, mungkin sebaya Bu Rima, beliau punya satu anak perempuan.”
“Astagfirullah, Pak Samsir kena stroke bu? Padahal Pak Samsir dan Bu Samsir orangnya baik banget bu. Hmm, di ganti Pak Surya ya bu. Selapa? berarti lulusan Akmil ya bu?”
“Iya bu Rima, anaknya Pak Surya lucu banget, kadang di ajak main sama Salsa ke rumah.”
Sekitar 10 menit Bu Andy dan Rima bercakap-cakap, Rima pun pulang ke rumah kontrakannya. Betapa kagetnya Rima setiba di depan rumah kontrakannya yang berukuran kecil itu, telah menunggu seseorang di depan teras rumahnya.
“Mas Irwan, ada perlu apa?” Rima menatap Irwan dengan heran.
“Dek Rima, dari mana malam-malam begini baru pulang?” tanya Irwan.
“Saya dari Masjid mas, sekalian beli martabak.”
“Beli martabak? memangnya mau ada tamu ya malam-malam begini?” tanya Irwan curiga.
”Maaf maksudnya apa ya mas?” tanya Rima bingung.
“Maaf Dek Rima. Saya cuma ingin tahu kabar Dek Rima, makanya saya kesini.” Irwan menatap lembut mantan istrinya itu.
Rima melengos, ia tak ingin kembali jatuh terbawa suasana. “Alhamdulillah saya baik mas.” Rima kembali menatap Irwan, “Kalau begitu Mas Irwan bisa pulang sekarang ya mas, saya nggak enak kalau ada yang salah prasangka jika mas Irwan malam-malam ke rumah saya,” kata Rima, Irwan terkejut mendengar perkataan Rima. Rima mulai mengambil kunci rumah kontrakannya dari dalam tas mukena yang di tentengnya dan segera membuka pintu.
“Tunggu dulu dek, saya mau curhat sedikit, hmm, maaf dek saya belum sempat mengenalkan Marliana, istriku,” ucap Irwan ragu. “Kenapa ya dek saya sering membandingkan Marliana sama Dek Rima. Istriku, Marliana tidak bisa masak, masakannya nggak enak, beda sama masakannya Dek Rima. Saat kegiatan persit, ia juga tidak bisa apa-apa, tidak bisa Volly, tidak bisa bicara di depan umum, saya malu sekali. Semua pekerjaan rumah tidak beres. Beda sekali saat Dek Rima yang menjadi istriku.”
Rasanya Rima mau bilang sama Irwan bahwa meski Rima pintar masak, pandai ngurus rumah, aktif persit, pandai Volly dan sebagainya tapi tetap saja Irwan memilih Marliana hanya karena satu kekurangan Rima yang tidak bisa punya anak, jadi untuk apa dia berkata semua ini ke Rima. Tapi Rima tidak mengatakan itu semua.
“Mas Irwan tidak boleh berkata demikian, Mas Irwan harus tetap bersyukur pasti dia memiliki kelebihan yang tidak kumiliki, maaf sekarang Mas Irwan pulang saja,” usir Rima sopan.
“Dek Rima kok begitu. Saya kangen sama dek Rima,” ucap Irwan akhirnya, tangan Irwan ingin menyentuh tangan Rima namun Rima segera menghempasnya.
“Maaf mas.” Rima pun pergi meninggalkan Irwan, masuk ke dalam rumah kontrakannya dan mengunci pintu. Di balik pintu itu Rima bersandar sambil menangis, hatinya seperti teriris dengan harapan yang di tunjukkan Irwan. “Ya Allah kuatkan hati hamba.” Cukup lama ia bersandar di pintu itu.
Keesokan paginya Rima mulai bekerja seperti biasa.
“Bu Rima itu ada yang cari di depan.” Cik Wen menunjuk,
Rima pun menengok siapa yang mencarinya. Ternyata disitu ada Bu Musa, Bu Pandu dan Bu Romi.
“Maaf ibu-ibu ada apa ya?” perasaan Rima tidak enak.
“Halah kamu nggak usah berlagak.” kata bu Pandu.
“Iya, Bu Rima udah ngaku saja.” Bu musa mulai menghakimi.
“Maaf bu, saya tidak mengerti,” kata Rima.
“Maaf bu Rima, saya mohon jangan ganggu suami saya!” ucap Bu Romi.
“Lho ibu-ibu ada apa ini ribut-ribut di depan kedai saya?” Cik Wen sengaja keluar untuk menghentikan ibu-ibu itu menghakimi Rima.
“MasyaAllah Bu Romi, saya bukan orang seperti itu bu.” Rima terkejut, hatinya pedih dengan tuduhan-tuduhan ibu-ibu itu.
“Halah Bu Rima ini mengelak, saya melihat dengan mata kepala saya kemarin, Bu Rima sama Pak Romi.” Bu Musa semakin menyulut keadaan.
“Mentang-mentang janda,” ujar Bu Pandu sinis.
“Bu Romi demi Allah saya tidak ada hubungan apa-apa sama pak Romi,” Rima berusaha meyakinkan.
“Jangan percaya, Bu Romi,” hasut Bu Musa.
“Bu Romi tolong ya tanyakan saja sama suami anda, jika dia bilang iya, saya minta buktinya, Bu Musa dan Bu Pandu saya bersumpah demi nama Allah saya bukan wanita seperti itu, disini ada Cik Wen yang mendengarkan Bu Musa sudah menfitnah saya dan mencemarkan nama baik saya, Bu Pandu juga menghasut Bu Romi, saya tidak segan-segan melaporkan anda ke pihak yang berwajib atas pencemaran nama baik!” Kata Rima tegas sembari menatap ketiga ibu di hadapannya itu. Setelah digertak Rima, ketiga ibu itupun pergi dengan hati kesal.
“Bu Rima nggak apa-apa?” tanya Cik Wen prihatin.
“Iya Cik nggak apa-apa.” Rima memandangi ketiga ibu yang berlalu sudah cukup jauh dari pandangannya, tak habis pikir, apa sebenarnya salah Rima pada mereka. Rima berusaha dan lagi-lagi tetap sabar menerima ujian demi ujian hidupnya.
Tak lama seorang kurir pos datang ke kedai itu.
“Maaf bu, ini ada surat buat Ibu Zarima Aida.” Pak Pos menyerahkan sepucuk surat pada Cik Wen, Cik Wen lalu menyerahkannya pada Rima. Rima membaca tulisan yang tertera dibagian depan amplop. “Hotel Yogyakarta Residence.” Rima teringat sebulan lalu dia ikut lomba membuat resep masakan, dan menggunakan alamat kedai tempat ia bekerja.
“Terima kasih ya Pak.” Rima mulai membuka isi amplop, mataya terbelalak, terkejut dan girang, “Alhamdulillah,” ucap Rima senang. Ia diterima ikut tes percobaan untuk menjadi seorang chef, waktunya 1 minggu lagi.
“Mamaaaaa...” teriak seorang bocah perempuan dari seberang jalan.
Rima terkejut karena bocah kecil itu tiba-tiba berlari menyebrang jalan bersamaan dengan motor yang melaju kencang dari sisi kiri jalan.
“Awas!” teriak Rima pada bocah perempuan itu, tapi gadis kecil itu sepertinya tak mengerti perkataannya.
“Mamaaaa,” teriak gadis kecil itu lagi, Rima berlari dan berusaha mencegah anak itu menyebrang jalan. Akhirnya Rima berhasil mendorong anak itu tetapi sebaliknya Rima yg tertabrak motor yang melaju kencang itu.
Satu jam kemudian, Rima perlahan-lahan membuka matanya, ia masih bingung kenapa ia ada di kamar rumah sakit, sekejap ia tersadar bahwa ia tadi sempat pingsan karena tertabrak motor. Rima melirik bingung kenapa di sebelahnya duduk seorang pria sedang memangku bocah perempuan.
“Mama..mama..” kata gadis kecil itu lagi, Rima bingung kenapa anak perempuan ini memanggilnya mama. Rima ingat anak ini, gadis kecil yang di tolongnya tadi. Rima berusaha bangun dari posisi berbaringnya.
“Nak kamu nggak apa-apa?” tanya Rima pada gadis kecil berusia sekitar 2 tahun itu.
“Anye nggak apa-apa mbak,” jawab pria yang memangku bocah berkucir dua yang ditolongnya. Pria itu menyambung kembali kalimatnya, “Saya minta maaf ya mbak, karena telah menyelamatkan anak saya, mbak jadi terluka begini,” Ucap pria itu.
“Ibu sudah sadar?” perawat masuk dan mengecek kondisi Rima. Dokter kemudian masuk pula. “Untungnya ibu tidak cedera parah, ini luka ringan di tangan dan kaki, mungkin karena shock, ibu jadi pingsan,” dokter menimpali. “Ini sudah saya tuliskan resep, nanti bisa di bawa pulang.”
“Alhamdulillah kalau mbak ini tidak kenapa-napa,” ekpresi lega tergambar di raut wajah pria itu.
“Iya dokter, terima kasih,” kata Rima.
“Ibu boleh istirahat dulu disini, sampai kondisi ibu agak baikan, atau setidaknya ibu sudah mampu untuk berjalan pulang,” saran dokter.
“Ini bu resepnya, nanti biar suami ibu yang mengurus administrasi, ibu silahkan istirahat dulu saja.” Perawat berbaju putih dengan list baju hijau tosca itu memberikan secarik kertas resep obat.
“Maaf sus, mas ini bukan suami saya,” ujar Rima sungkan.
“Oh maaf bu,” kata perawat itu sebelum meninggalkan kamar perawatan Rima.
“Mama..mama...” Gadis kecil itu kembali memanggilnya mama.
“Hai, adek cantik namanya siapa?” tanya Rima sambil mengelus pipi dan rambut bocah itu. Rima tersenyum hangat.
“A-Ane,” celoteh sang bocah dengan aksen gaya khas anak seusianya.
“Namanya Anye, Anyelir,” kata pria yang memangkunya. "Oh ya, saya Surya.” Pria itu memperkenalkan diri.
“Saya Zarima Aida, panggil saja Rima, mas.” Rima membalas uluran tangan Surya. “Maaf Mas Surya, kenapa adek ini memanggil saya mama?”
“Maaf Mbak Rima, sejujurnya saya juga tidak tahu.”
“Panggil saja saya Rima, mas.”
“Iya Rima.” Surya canggung, “Hmm, saya panggil Dek Rima saja.” Surya memperbaiki posisi pangku Anyelir, putrinya. “Anye sejak lahir sudah ditinggal ibunya, istri saya meninggal ketika melahirkan Anye,” kata Surya. Rima terdiam lalu kembali tersenyum ke anak bernama Anyelir itu. Pikir Rima gadis kecil ini pasti merasa kesepian seperti dirinya.
“Nak Anye sini dipangku tante,” Rima mengulurkan tangannya.
“Mama, bukan tante," ucap Anyelir.
“Mohon maaf ya Dek Rima, anak saya pendiriannya agak keras.” Surya menjadi tak enak pada Rima karena Anyelir selalu memanggil Rima, mama.
“Oh iya, sini Anye.” Rima kemudian memangku Anyelir. Gadis kecil itu tertawa tawa dipangkuan Rima.
“Dek Rima kerja di kedai itu ya?” tanya Surya.
“Iya mas,” jawab Rima singkat, Rima menikmati bermain bersama Anyelir.
“Oh ya Dek Rima, ini HP Dek Rima, mungkin jatuh saat menolong Anye, HP Dek Rima hancur terlindas motor.” Surya menyerahkan rongsokan HP milik Rima.
“Iya, nggak apa-apa mas, yang penting Anye tidak kenapa-napa.” kata Rima. Surya termangu mendengar ucap Rima yang mengkuatirkan putrinya.
Dua hari ini Rima tak masuk kerja, Cik Wen mengerti keadaan Rima dan mengijinkannya untuk istirahat beberapa hari. Tangan Rima masih terasa sakit, sedari pagi hingga sore Rima hanya beristirahat di kamar, sesekali ia bangun untuk menunaikan sholat ataupun makan untuk mengganjal perutnya.
Tok Tok Tok. Rima mendengar seseorang membuka pintu, dengan susah payah ia bangkit dari ranjangnya dan melangkah ke depan untuk membuka pintu. Beberapa saat setelah Rima membuka pintu. “Mamaaa....Mamaaa...” ternyata Anye dan Surya.
“Anye,” kata Rima heran, Anyelir berlari memeluk Rima, Rima pun balas memeluknya.
“Sore Dek Rima, bagaimana keadaan Dek Rima?" tanya Surya sembari tersenyum.
“Alhamdulillah baik mas, Anye bagamana kabarnya sayang?” tanya Rima pada Anyelir, entah mengapa Rima jadi sangat menyayangi bocah kecil itu, sebenarnya dua hari ini Rima kepikiran tentang mengapa Anye selalu memanggilnya mama, dan panggilan Anye itu sangat ia rindukan selama ini.
“Baik,” jawab Anyelir polos.
“Maaf dek, ini ada sedikit buah,” kata Surya sambil membawa sekeranjang parsel buah.
“Nggak usah repot-repot mas, Anye dateng kesini saya sudah senang.” Surya lagi-lagi terenyuh dengan kata-kata Rima, bagaimanapun Rima baru mengenal Anye.
“Anye mau makan apa?” tanya Rima.
“Naciii oyeng,” Anyelir bermanja-manja di pelukan Rima. Surya memperhatikan mereka, Surya lalu melihat tangan Rima yang masih memar, ia kemudian mengalihkan Anyelir untuk duduk di kursi agar tak menyentuh tangan Rima yang masih sakit jika Anye berlama-lama di pelukan Rima, ia kuatir pada Rima.
“Nasi goreng? Okey, Anye cantik tunggu disini dulu ya.” Rima beriri.
“Nggak usah repot-repot dek, duh maaf ini Anye ngerepotin terus jadinya,” kata Surya sungkan.
Rima tersenyum pada Surya, “Nggak mas, saya nggak merasa di repotkan.” Rima melangkah ke dapur. Tujuh menit kemudian Rima keluar dari dapur dengan sepiring nasi goreng buatannya untuk Anyelir. Gadis kecil itu tampak sangat senang, Anyelir meminta Rima untuk menyuapinya. Rima sangat senang menyuapi Anye, sejujurnya Rima rindu ingin suasana seperti ini, bisa menyuapi seorang anak.
“Dek Rima di sini sendiri, kok tidak ada keluarga lain?” tanya Surya.
“Hmm, Mas Surya mungkin heran. Tapi saya memang hidup sendiri mas, saya sudah bercerai.”
“Anak?”
“Saya tidak punya anak mas.”
“Oh maaf ya dek, saya tidak bermaksud menyinggung.” kata Surya, Rima pun tersenyum wajar.
“Mama cuap lagi.” Anye meminta untuk disuapi Rima lagi. Rima menuruti apa yang diminta Anye. Mata Rima selalu memandang segala tingkah Anye, ia bahagia sekali, melihat semua apa yang di celotehkan Anye.
“Mama mam juga,” kata Anye, kemudian Anye mengarahkan sendok ke arah Rima. “Mama cuap Papa,” kata Anye, kali ini Rima bingung, tapi Anye mengarahkan sendok yang dipegang Rima ke bibir Surya. Surya pun tampak bingung dan malu saat Rima menyuapnya nasi goreng itu atas permintaan Anye.
Tiba-tiba seseorang muncul dari pintu yang terbuka.
“Rima!” kata Irwan spontan, Rima pun terkejut karena kedatangan Irwan yang tiba-tiba.
“Mas Irwan?” Rima berdiri dari duduknya.
“Aku dengar kamu baru saja kecelakaan?” tanya Irwan.
“Iya, tapi alhamdulillah tidak apa-apa.” Rima kemudian melirik Surya, "Oh ya Mas Surya ini kenalkan Mas Irwan, mantan suami saya.”
“Selamat sore komandan,” sapa Irwan hormat.

“Komandan?” Rima bingung.
SELENGKAPNYA DI BUKU KISAH LEMBAH HIJAU
 

22 komentar:

  1. mbak kalau mau pesen gimana iya caranya....

    BalasHapus
  2. mbak kalau mau pesen gimana iya caranya....

    BalasHapus
  3. Pngn ich buku"y
    Bikin penasaran

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Bagus banget kisahnya

    BalasHapus
  6. Pengen dong bukunya.. Gmn cara membelinya

    BalasHapus
  7. Cra beli bukunya bagaimana ya...

    BalasHapus
  8. bagaimana cara membeli buku ini

    BalasHapus
  9. Mbk mau beli bukunya harga nya brapa

    BalasHapus
  10. Ceritanya sangat menginspirasi....

    BalasHapus
  11. Ceritanya sangat menginspirasi....

    BalasHapus
  12. Subhanalloh..saya suka, boleh saya pesan bukunya.

    BalasHapus
  13. Bagus bngt critanya.. sya cri di gramedia bukunya kok gak ada yaa

    BalasHapus