Translate

Jumat, 19 Desember 2014

BATALYON ABSTRAK (Sebuah Aula)

Spesial Sinopsis : Cerpen Sebuah Aula
Penulis : Bunga Rosania Indah

Batalyon TC 1976.
Baru 3 bulan anak keduaku lahir, namun suamiku kembali ditugaskan ke daerah konflik, itu berarti aku harus hidup mandiri. Sebenarnya itu bukan masalah karena sejak awal aku memang tipe wanita yang mandiri. Namun, entah mengapa di rumah yang kudiami sekarang ini, disebuah batayon prajurit baret hitam, aku merasakan sesuatu yang lain.
Aku baru menempati rumah ini 5 bulan, namun karena rumah orangtuaku tak jauh dari asrama, tak ayal membuatku tak sering berada disini. Tapi kali ini berbeda, karena suatu hal aku harus terbiasa untuk tinggal di asrama.
Baru 2 hari suamiku berangkat tugas, aku tinggal dirumah dengan kedua anakku yang berusia 3 tahun, dan 3 bulan. Kulihat putra pertamaku sudah tertidur pulas dengan guling kesayangannya penggantiku, sementara aku masih harus berusaha menina bobokkan anak keduaku yang memang cenderung cengeng. Berjam-jam aku menggendong putra keduaku ini yg tak brhenti menangis, kadangkala aku merasa frustasi, tapi aku tak bisa menyerah begitu saja sebagai seorang ibu.
Hampir jam 1 malam, akhirnya putra keduaku bernama Rama, tertidur. Pelupuk mataku pun sudah amat berat. Kuletakkan Rama bersebelahan dengan Bisma, kakaknya.
Aku menghembuskan nafas, ku pikir ada baiknya jika aku mengisi perutku dulu sebelum tidur, maklum saja aku selalu merasa lapar, karena masih menyusui.
Aku berbalik dan merasa heran, aku menggeleng pelan, "Tidak mungkin, tadi pintu kamar ini belum aku tutup?" Aku berpikir keras dengan penglihatanku, aku ingat jelas pintu kamar belum aku tutup, tapi mataku tak bisa berbohong, pintu kamarku tertutup rapat. Aku kembali menggeleng, ah, pasti ada yang keliru dengan ingatanku.
***
Matahari pagi menyembul di ufuk timur, aku terbangun. Pendar sinar mentari seolah-olah mengusap mataku dengan sinarnya. Ku buka kelopak mataku lalu bangkit untuk duduk, aku melihat Rama, anakku pun telah bangun tapi dia hanya diam, matanya berkeliling di langit-langit kamar, ya begitulah anak bayi. Namun aku sedikit terkejut Bisma tak ada di ranjang. Aku bangkit dari ranjang lalu keluar kamar meninggalkan bayiku sesaat untuk mencari BIsma."Bisma??" Teriakku. Tak ada jawaban. Aku kembali berteriak "Bisma?!"BRUUGG!!!Mataku terbelalak, aku mendengar sesuatu terjatuh dari dalam kamar. Seketika terlintas bayiku yang kutinggalkan sendiri dari dalam kamar, tengkukku panas, firasat buruk jika bayiku terjatuh dari ranjang menyelimuti pikiranku. Aku segera berlari masuk ke dalam kamar, "Bisma?" aku mendelik melihat isi kamar, Bisma, anakku duduk di sisi ranjang di sebelah Rama."Bisma. Suara apa itu? Ibu mendengar ada benda jatuh?"
Bisma menggeleng, "Nggak ada suara apa-apa, Bu."
Dahiku mengereyit, kupandangi suasana kamar yang memang baik-baik saja. "Bisma, kamu dari mana saja? tadi Ibu mencarimu."
Bisma balas menatapku, "Bisma nggak kemana-mana, Bu. Sedari tadi Bisma di kamar."
Aku semakin bingung, tak mungkin, dari sorot mata putraku itu aku yakin dia berkata jujur."Bisma, tadi ibu liat kamu nggak berada dikamar ini," nadaku sedikit pelan agar putraku itu merasa nyaman.
"Bisma sembunyi dikolong ranjang, Bu."
Aku menghembuskan nafas setengah lega. "Kenapa kamu sembunyi di kolong ranjang? sejak kapan?"Bisma menggeleng, aku jadi merasa bodoh menanyakan hal itu, terang saja, Bisma masih 3 tahun, ia tak tahu mengenai putaran jam.
"Bisma sembunyi di kolong, karena..."
Tok. Tok. Tok.
Aku menoleh kearah luar jendela, lalu kembali memandang Bisma, "Kamu tunggu disini dulu ya, Nak."
Aku berjalan meninggalkan kamar menuju ruang depan. Bersiap membuka gagang pintu kayu.
"Assalamu Alaikum." Suara dibalik pintu.
Kubuka pintu, "Waalaikum salam."
Senyum mengembang di wajah tua wanita yg berdiri tepat di hadapanku, "Rumahnya Bu Mukti?"
Aku membalas senyuman, "Mbok Dar, ya?"
Wanita setengah tua itu mengangguk. Aku bisa tersenyum lega, akhirnya pembantu yang dikirim orangtuaku ke rumah sudah datang. "Bu, saya hanya bekerja dari pagi sampai siang," Mbok Dar menegaskan padaku.
"Iya, Mbok. Saya sudah dikasihtau sama Ibu." Sebenarnya dengan gaji tentara dijaman ini sungguh mustahil aku mempunyai tanggungan pembantu, namun orangtuaku khawatir karena aku sedang di tinggal tugas suami serta memiliki 2 anak kecil, oleh karenanya orangtuaku bersedia mengupahi pembantu buatku.
Pagi itu Mbok Dar langsung bergiat di dapur, menyetrika, menyuci dan membersihkan rumah.
"Mbok, saya ke tukang sayur dulu ya. Titip Rama, dia sedang tidur di kamar."
Mbok Dar menggangguk, "Baik Bu."
Beberapa saat sebelum aku melangkah, mbok Dar menghentikanku.
"Bu..."
"Iya?"
"Bangunan yang dibelakang rumah, itu bangunan apa ya?"
"Itu aula, Mbok."
"Masih di pake, Bu?"
"Hmm, kalau ada kegiatan ibu-ibu, hanya memakai ruangan di sampingnya, sedang aula itu hanya untuk tempat penyimpanan alat-alat seni, senjata-senjata yang sudah usang dan peralatan olah raga batalyon."
"Oh."
"Kenapa, Mbok?"
"Nggak apa-apa, Bu. Hmm, Adek kalau di tinggal keluar rumah sebaiknya di sematkan bengle di bajunya, Bu. Sisir, Cermin, dan Gunting letakkan di dekatnya."
Aku tersenyum, aku tahu Mbok Dar wanita yg berasal dari pedasaan, olehnya hal-hal berbau kejawen mungkin masih kental.
Aku menunduk karena terasa ada menarik ujung bajuku. "Bisma?"
"Bu, Bisma mau ikut."
***
Aku menatap atas gerobak sayur, "Pak, sayurnya kok nggak lengkap?"
"Iya, ni, Bu. Beberapa hari ini hujan terus. Kualitas sayur menurun, jadinya hanya ini." Tukang Sayur mengambil ikan di ember lalu membersihkannya.
"Bu Mukti, mau masak apa hari ini?" Tanya Bu Tomo, tetanggaku yang juga sedang belanja sayur, matanya sibuk berkeliling mencari bahan masakan yang sesuai kantongnya.
"Pengennya sih masak bayam, Bu. Bisma seneng sayur bayam."
"Oh," jawab singkat Bu Tomo. Wanita berambut pendek ikal itu lalu menatapku lurus, "Bu Mukti kalau malam bisa tidur nyenyak?"
Aku sedikit bingung mengenai arah pembicaraannya.
"Bu Mukti nggak pernah dengar suara-suara dari aula belakang?" Tanya Bu Unggul juga.
"Kenapa memangnya, Bu?" Tanyaku.
"Ah, tidak apa-apa, Bu. Hanya saja rumah Bu Mukti kan lebih dekat dengan aula ketimbang rumah kita."
"Iya, Bu. Masa' ibu nggak pernah dengar suara gamelan jawa dari dalam aula itu? Saya saja kadang dengar, tapi saya nggak berani bangun dan langsung tidur lagi."
KISAH SELENGKAPNYA DI BUKU BATALYON ABSTRAK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar