Translate

Jumat, 19 Desember 2014

KISAH LEMBAH HIJAU 3 (LDR)

Cerpen : LDR
Buku : Kisah Lembah Hijau 3
Harga : Rp.53.000,-

Sinopsis :
Kisah LDR Fahira
Sekedar berbagi kisah. Aku mempunyai kekasih seorang tentara berpangkat Serda, namanya Mas Beni. Kukenal dia dari facebook, singkatnya kami berpacaran jarak jauh karena aku berada di Kediri dan Mas Beni di Papua, dia tugas disana. Tak usah kuceritakan bagaimana suka dukanya berpacaran jarak, yang jelas aku sudah menerima keadaan seperti ini.
Namun selama aku berpacaran dengannya, ada satu hal yang sangat spesial yaitu saat ulang tahunku awal tahun lalu.
Tak seperti biasanya, di tahun-tahun sebelumnya meskipun jauh, Mas Beni menyempatkan mengirimkan kado buatku dan menelepon tepat jam 12 malam saat pergantian usiaku. Namun ini berbeda. Tanggal 22 sore Mas Beni menelponku dan mengucapkan ulang tahun lebih cepat sehari sebelumnya karena ulang tahunku memang jatuh pada tanggal 23. Dia berkata lagi, maaf tak bisa mengirimkan kado karena tak sempat turun ke kota. Jika masalah tak sempat memberiku kado, aku sih nggak masalah, namun yang membuatku heran kenapa ia mengucapkan ulang tahun sehari lebih cepat. Dan akhirnya Mas Beni berujar, "Maaf Hira, kemungkinan nanti malam ataupun besok aku tak sempat menghubungimu dulu. Keadaan disini lagi genting. Dua orang temanku menghilang dan aku beserta rekan lainnya harus naik gunung malam ini untuk mencari mereka."
Sesaat setelah Mas Beni mengatakan itu aku jadi berdebar......
***
Kisah LDR Emi
Sama sekali aku tak ada bayangan bakal menikah dengan tentara, bakal tinggal di asrama, bakal ditinggal tugas terus menerus.
Baru tiga minggu aku menikah, suamiku berangkatlah tugas selama setahun di Ambon.
Aku dan suamiku itu dijodohkan karena adat dikeluarga. Aku dan suami masih saudara jauh.
Minggu pertama ditinggal tugas masih belum terbiasa buatku. Ingin rasanya pulang ke rumah orangtuaku tapi ada peraturan saat itu kalau istri yang ditinggal tugas tetap harus mendiami asrama.
Tiap dua hari sekali suami meneleponku bertanya kabar. Tak banyak yang kami obrolkan karena memang aku dan dia masih terasa asing satu sama lain. Dia mengenalku dan sebaliknya setelah acara lamaran berlangsung.
Di asrama, meski tanpa suami, aku tetap harus mengikuti kegiatan disana. Sore itu aku berpartisipasi dalam pertandingan volley di lapangan asrama, meski grup ku kalah, tak kuambil pusing, namanya juga pertandingan. Aku beristirahat sambil mimum sebotol air mineral. Tiba-tiba seseorang duduk di dekatku.
"Emi, lama ya nggal jumpa," ujarnya. Aku menoleh, cukup terkejut ternyata dia Imran, teman satu sekolahku dulu, dia pun ternyata berada di asrama yang sama denganku dan dia tinggal di barak bujangan. Kami pun mengobrol cukup lama, aku merasa terhibur akhirnya ada juga orang yang ku kenal dekat di asrama yang masih terasa asing bagiku itu. Imran meminta nomer handphone-ku dan kami pun jadi akrab di hari-hari berikutnya. Sudah banyak berubah dari Imran yang ku kenal dulu, dia tampak lebih tampan dengan seragam tentaranya.
Aku merasa Imran lebih perhatian kepadaku, bahkan saat ulang tahunku kemarin, dia mengucapkan dan membelikanku baju sebagai kado. Sesaat aku jadi melupakan suamiku. Terlebih, saat sekolah dulu aku ada rasa dengannya namun bapak selalu melarangku untuk pacaran.
Aku jadi kesal pada suamiku sendiri, ia tak membelikanku kado bahkan tak memberi ucapan selamat padaku, dan ittu membuatku jadi malas mengangkat telepon darinya.
Tanpa kusadari aku membuat kesalahan....
SELENGKAPNYA DI BUKU KISAH LEMBAH HIJAU 3

KISAH LEMBAH HIJAU 3 (068-069)

Diangkat dari Kisah Nyata...
Cerpen : 068-069
Buku : Kisah Lembah Hijau 3

Sinopsis :
Tahun 2010 lalu, saya dari Kutacane-Aceh Tenggara, berangkat mendaftar Secata TNI-AD di Kodam Iskandar Muda. Disinilah aku pertama kali bertemu Jamal, saat kami sama-sama tes, dia ikut mendaftar juga. Jamal berasal dari sebuah daerah bernama Marpunge Telengat, Kabupaten Belang Kejeren. Daerah tempat tinggal Jamal bisa dibilang tetanggaan dengan daerah asal saya, Kutacane. Disinilah saya dan dia mulai akrab, karena daerah saya dan Jamal searah kami pun berangkat tes bareng, kemana-manapun bersama selama mengurus keperluan tes dan menjalani tes masuk tentara setahap demi setahap. Selayaknya kawan akrab, kami merasa senasib dalam perjuangan mewujudkan cita-cita kami yaitu lulus tes dan jadi seorang tentara. Singkat cerita, begitu tahap akhir, pengumuman dan kami berdua akhirnya lulus. Ini saat menggembirakan karena kesenangan yang dirasakan bersama, bahagianya akan terasa berlipat-lipat.
***
Malam itu saya dan Jamal sama-sama berjanji tidak akan lari walau sesakit apapun, sesengsara apapun. Lebih baik kami mati daripada kami lari.
SELENGKAPNYA DI BUKU KISAH LEMBAH HIJAU 3

KISAH LEMBAH HIJAU 2 (Hutan Hera Timor-Timur)

Cerpen : Hutan Hera Timor-Timur (KISAH NYATA)
Buku : KISAH LEMBAH HIJAU 2
Penulis : Bunga Rosania Indah
7 November 1976. Beberapa teman mengeluh jika makanan di pos ini kurang memadai, beberapa bulan belakangan ini tak pernah makan daging, menu makanan benar-benar minim. Koptu Darpani meminta ijin pada Danton (Komandan Pleton) untuk patroli bersamaku dan Kopda Gunanto, serta meminta ijin untuk berburu kijang atau kambing hutan untuk persediaan makanan pasukan di pos. Seijin Danton akhirnya kami berangkat dengan seragam PDL lengkap, sangkur, senter, Senjata SP-1, Magazen peluru dan paples (wadah air minum). Aku sempat merapikan baret hitam yang ku kenakan, baret dengan simbol tank dan tapal kuda dengan dasar warna kuning dan merah.
Secara beriringan kami mulai mendaki gunung, dan masuk ke hutan Hera. Hutan Hera sama seperti hutan pada umumnya, memiliki banyak pohon yang rindang. Aku berjalan bergantian pada posisi depan, mata kami mengawasi tiap jalan di depan, bersiap jika hewan perburuan muncul. Namun sayang, baik rusa ataupun kambing tak nampak batang hidungnya. Aku merasa ada yang aneh pada hutan ini...
BUKU KISAH LEMBAH HIJAU 2
Pemesanan langsung ke:
Penerbit Harfeey Yogyakarta
ketik : judul buku_jumlah order_alamat sms ke : 081904162092

BATALYON ABSTRAK 2

AUDY SI MANTARA
Penulis : Bunga Rosania Indah
Apa sih Mantara? Duh! Jangan katrok-katrok banget, Mantara itu singkatan dari Maniak Tentara, kayak Si Audy. Gadis 20 tahun yang sudah menghabiskan kurang lebih dua tahun hidupnya sebagi mahasiswi di Universitas Mercubuana.
Siang itu Audy bersungut-sungut kesal, sambil melepas helm pink dengan hiasan cartoon tazmania ia komat-kamit, ngoceh sendiri.
"Gue harus dapatin pacar tentara, malu dong sama kucing. Kakek gue, kakek buyut gue, paman gue tentara, masa gue nggak bisa dapetin tentara sih! Hmm, meski bapak gue bukan tentara sih tapi peternak ayam."
Tok. Tok. Tok.
"Assalamu alaikooom!" Teriak Audy setelah mengetuk pintu kamar kost Kalia, sahabat satu-satunya Audy sekaligus merangkap sebagai provokator yang selalu manas-manasin Audy sama Ineke, saingan keren-keranan Audy di kampus.
Pintu di buka, belum dipersilahkan Audy sudah masuk dan rebahan di ranjang Kalia.
"Napa loe bencong?! Tereak-tereak di kost'an orang!"
Audy terlentang, "Moncos! Ineke ganti pacar lagi, Kal!"
Kalia duduk, serius banget dengerin Audy, "Wah, siapa lagi pacarnya, Au? Lha yang anak Kodam udah di cut?"
Audy lemas, "Putus asa gue, Kal. Gue aja belum dapet-dapet pacar tentara, dia udah bolak-balik pudaru (pudaru : putus dapat yang baru)."
"Trus anak mana pacar baru dia?"
Audy guling-guling di tempat tidur, "Tuhaaaan! Gue kan lebih manis dari Ineke, kan! Kok gue tetap dibetah-betahin ngejomblo, hiks!"
Kalia melempar bantal ke muka Audy, "Hei dodol! Gue dari tadi nanya, anak mana tuh pacar barunya Ineke."
Audy spontan menghempas bantal yang dilempar Kalia, "Dah busyet, nih bantal bau iler semua!"
"Hehehe," Kalia nyengir.
Audy bangkit dan duduk, "Pacar baru ineke anak Kopassus. Tragis kan?"
Kalia sontak bengong, "Iya Au, tragis, tragis banget kekalahan loe."
Audy termehek-mehek, "loe ngomong kalahnya kok dramatis banget, Cong!"
Kalia terbahak, "Loe sih orangnya milih-milih, kandidat-kandidat tentara yang gue tuwarin ke elu, eh, elu tolak semua."
Audy mentowel jidat Kalia, "Gila loe, kandidat loe nggak ada yang beres. Masa loe nyomblangin gue ame Kopral Kasino en Sersan Dolok. Loe tau sendiri kan tuh dua orang udah dikasi warning BERBAHAYA!"
Kalia menggeleng, "Suweerr gue nggak tahu."
"Heh?" Audy mendelik, "Loe belum pernah baca buku Kopral Kasino?"
Kalia menggeleng lagi.
Audy tepok jidat, "Aduh, parah banget loe! Gue berani jamin ye, kalo sampe mati loe belum baca tuh buku, loe mati bakal jadi setan penasaran deh,"
Kalia kembali melempar Audy bantal. Singkat kata singkat cerita akhirnya Kalia menyusun strategi PDKT buat Audy.
seminggu berlalu.
"Ngapain sih kudu bawa teropong segala, Kal? kita tuh mau nyari tentara kece, bukan neropongin langit en nyari alien!"
"Banyak cincong kamu Au! loe pasti seneng deh kita mau kemana."
"Kemana emangnya Kal?"
"Kolam renang bo! tiap hari kamis banyak tentara yang lagi renang di kolam renang kodam. pelatih renangnya kan Om gue, Au."
"Wah, masa kita ngintipin tentara lagi renang Kal? Jijay ah, ntar dikira kita maniak!"
"Niat nggak sih loe Au, gue dah capek-capek nih minjem teropongnya anak tekhnik sipil!"
"Yaaah, gue hargain deh usaha loe Kal."
"Begini nih Au, kita teropngin dulu dari jauh, amatin yang body'nya paling oke, wajah oke, nggak malu-maluin di bawa kondangan! yang terpenting nih, kita ngamatin itu-nya, kan mumpung pake celana renang doang so keliatan 80% seluruh body."
Audy mendelik jijay ke Kalia, "Itu-nya apaan?"
"Itu-tuh, tahi lalat di punggung. katanya, cowok yang punya tahi lalat di punggung tipe romantis en royal ma cewek."
Audy bernapas lega, "Oh, itu. kirain apaan!"
Kalia memonyongkan mulutnya, "Ah loe jorok pasti mikirnya. udah yuk cabut ke kolam renang!"
Dikolam renang...
dari kejauhan Audy dan Kalia sudah memilih tempat yang pas buat profesi barunya yaitu mata-mata. satu jam sudah khusuk dengan teropong hasil minjem.
"Gila, Au, body-nya bo!" ujar Kalia dengan mata satu tertutup dan mata sebelahnya membelalak di lensa teropong.
"Kenapa Kal? body-nya oke ya? sini dong, bagi, gue juga mau neropong."
Kalia geleng-geleng, "Bukan Au, tapi body-nya bo' panuan tuh! wah pasti jarang ganti kaos dalem tuh!"
Audy mendorong Kalia hingga oleng, "Ah, loe. sini! pinjem dong teropongnya!"
cukup lama akhinya Kalia meminjamkan teropong pada Audy. Audy girang setengah mati, "Asiiiik cuci mata!" dan saat Audy mulai meneropong, ia bengong melompong, "Lho Kal mana tentara-tentaranya, kok gue nggak lihat, ye?"
Kalia ketawa, "Udah pada cabut 10 menit yang lalu."
Audy manyun, "Dasar loe Kal! gue kebagian apaan!"
Audy sebel bener ama Kalia, ngambel seakar-akarnya, ia berjalan ninggalin Kalia, berjalan ke tepi kolam renang.
sementara itu seorang tentara bernama Dodo pucat pasi ditinggal yang lainnya apalagi tragedi yang menimpanya buat dia nggak berani naik ke tepi kolam. tragedi? iya tragedi, si Dodod pake celana renang yang karetnya dah molor, en begitu ia nyemplung, eh tuh kolor terlepas, melayang-melayang di permkaan air. dan amat shock sampe nggak bisa ngomong saat dia lihat Audy berjalan ke kolam renang, tanpa aba-aba sempritan pelatih, dia langsung nyelem nahan napas, sambil ngedumel "Sompret tuh cewek kagak pergi-pergi dari kolam renang!"
Audy duduk di pinggiran kolam, tiba-tiba matanya membelalak, terperangah melihat celana renang abu-abu pucat ngambang dipermukaan kolam yang dikiranya UBUR-UBUR,  ia melotot, "Busyet, di kolam renang kok ada ubur-ubur???" celana renang abu-abu itu semakin mendekat ke kakinya yang ditenggelamkan sebagian di air, Audy semakin panik dan berdiri sambil berteriak, "TOLOOOOONGGG! ADA UBUR-UBUR!"
SELENGKAPNYA DI BUKU BATALYON ABSTRAK 2

BATALYON ABSTRAK 2 (Peti Mati)

Cerpen : Peti Mati
Penulis : Bunga Rosania Indah
Model : Erni
Keponakanku lari tergopoh-gopoh menghampiriku yang berada di dalam rumah.
"Tante-tante, ada orang berantem diluar," ujarnya dan tentu saja membuatku panik.
"Fika jangan keluar! Ayo masuk!" Aku menarik Fika, keponakanku yang sedang liburan sekolah di rumahku yang baru. Suamiku menempati jabatan baru yaitu sebagai Danramil di sebuah koramil di daerah terpencil dan susah terjangkau transportasi. Aku mengajak Fika masuk lalu segera mengunci pintu rumah.
Kulihat Fika gemetar, namum sebenarnya aku pun gemetar, beberapa kali aku mengintip dari jendela. Kulihat satu orang lelaki mengamuk sambil membawa golok, lalu membacok beberapa orang, namun yang dibacoknya itu masih sanggup lari.
Seketika jantungku berdetak cepat saat lelaki yang mengamuk itu melihat kearahku, spontan tanganku menutup gorden meski jendela sudah kukunci sejak tadi.
Duh, om-om di Pos pada kemana sih kok nggak melerai mereka. Oh, iya, aku teringat. Sebagian besar mereka termasuk suamiku sedang turun bukit melerai pertikaian antar suku yang terjadi sedangkan di Koramil hanya ada dua tentara piket.
"Tante," panggil Fika. Aku menoleh. "Tante, kok diluar banyak orang berteriak." Aku tak menjawab Fika, aku sendiri pun takut. Aku takut jika laki-laki itu mendobrak pintu, masuk dan membacok kami juga. Aku masuk kamar Rozi dan kuajak Fika juga, Rozi anakku yang baru berusia 5 tahun itu masih tertidur lelap.
Tok. Tok. Tok.
"Tante, ada yang ngetok-ngetok pintu," ucap Fika. Secepat kilat aku berpikir, kalau orang emosi tak mungkin akan mengetuk pintu, hmm, mungkin itu tentara piket.
"Fika, kamu tetap berada dikamar ya sama Rozi." Fika mengangguk. Dan Rozi mulai bangun, mengucek-ngucek mata.
"Ma!" Panggil Rozi.
Aku menaikkan telunjukku ke bibir, "Sstt! Diam. Nanti mama kemari lagi."
Fika mendekati Rozi dan merangkulnya agar tak takut.
Meski ragu, aku terus melangkah ke pintu. Sejujurnya aku takut, takut kalau orang kalap tadi yang berada dibalik pintu. Masih teringat jelas sorot matanya yang bengis saat aku mengintip di jendela tadi.
"Si-si-a-pa?" Tanyaku terbata.
"Saya Bu, Pak Tri."
Lega rasanya dan segera kubuka pintu.
"Pak Tri dari mana saja tadi? Apa nggak tahu ada orang bertikai di jalan?"
"Enggak, Bu. Tadi saya keluar sebentar mengantar pulang Pak Tatang, darah tingginya kumat, Bu. Katanya kepalnya pusing hebat dan serasa mau pingsan, jadi saya antar saja dia pulang."
Aku ikut cemas atas keadaan Pak Tatang, "Astaga. Trus hari ini Pak Tri piket sendirian?"
"Iya, Bu. Nggak apa-apa. Hmm, hanya saja saya mau tanya, kok di depan jalan ada mayat tergeletak."
Aku sontak kaget, "Dimana Pak?"
Akhirnya aku dan Pak Tri berjalan kedepan. Aku kembali terkejut saat kutahu mayat siapa itu, dia adalah orang bengis yang membacok orang-orang tadi. Namun kini malah dia yang mati. Ada beberapa luka bacok di kepala, leher, dada dan tangannya.
Aku menceritakan kesimpulanku pada Pak Tri, kemungkinan setelah mengamuk dan membacok orang, korbannya lari meminta bantuan dan balas membacok si pelaku.
"Bagaimana ini Pak?" Tanyaku gugup. "Hmm, mana di koramil nggak ada orang. Pada turun bukit semua dan baru kembali besok."
Pak Tri berjalan cepat menuju pos, "Saya telepon kepolisian saja Bu, dan minta ambulans datang kemari." Tak lama Pak Tri muncul lagi, dan berujar, "Bu, ambulans baru bisa datang besok pagi, katanya mereka siaga pada korban kerusuhan yang semakin bergelimpangan."
Aku mendelik, "Lalu mayat ini sementara digimanain? Masa dibiarin berada dijalan kayak gini, Pak?"
Pak Tri terlihat bingung. Aku jadi teringat ada sebuah peti yang tergelatak di belakang rumah jabatan.
"Hmm, begini saja deh, Pak. Itu kab dibelakang ada peti barang, mayatnya kita tarok saja di peti itu sementara sampai besok ambulans datang."
Pak Tri menelan ludah, air mukanya agak beda, "Itu peti... Peti... Peti milik Pak Jumari, Bu."
"Oh, milik Danramil sebelumnya? Trus masak mayatnya dibiarin kelihatan begini, nanti anak sama keponakan saya takut."
"Tapi, Bu, peti itu... Hmm..."
Aku tak tahu apa maksud Pak Tri dan ekspresinya yang cemas itu namun akhirnya ia mengikuti saranku, memasukkan mayat itu sementara ke dalam peti sampai ambulans datang dan membawanya.
Berdua bersama Pak Tri kugotong mayat itu masuk ke dalam peti. Sudah kubulatkan tekad meski darah amis mayat itu kurasakan menempel pada telapak tanganku, daripada Rozi maupun Fika melihat mayat itu tergelatak akan membuat mereka takut. Mending ku masukkan saja ke peti.
"Sudah beres!" akhirnya peti berisi mayat tanpa identitas itu sudah ditarok di depan halaman koramil, tinggal menunggu ambulans besok pagi, kuharap bisa datang lebih cepat.
Pak Tri kembali ke Pos dan aku masuk ke dalam rumah yang bersebelahan tepat di samping pos koramil.
Aku segera masuk rumah, mencuci tangan dari noda darah.
Sekilas bayangan wajah mayat itu terbesit diingatan, rasanya bulu kuduk meremang.
Aku mengambil sabun dan melumurinya di tanganku, kubasuh dengan air sebanyak-banyaknya. Namun tiba-tiba bulu kudukku meremang, aku merasa ada yang berdiri dibelakangku. Aku reflek berbalik dengan menahan napas.
"Fika? Kamu dari tadi berdiri dibelakang tante, ya?"
Fika menggeleng, "Baru saja kok, tante. Anu... Itu." Fika menunjuk ke arah pundakku. Aku bingung, lalu kutolehkan kepalaku, mataku membelalak, terkejut dengan sebuah darah yang membentuk gambar telapak tangan.
"Itu gambar tangannya siapa, tante?"
Aku menelan ludah, kuingat-ingat lagi kejadian saat mengangkat mayat tadi, aku tak merasa tanganku menyentuh pundak, apalagi tangan Pak Tri, pasti bukan dialah. Lalu bekas telapak tangan siapa ini???
SELENGKAPNYA DI BUKU BATALYON ABSTRAK 2

BATALYON ABSTRAK 2 (Terjebak Sandiwara)

Cerpen : Terjebak Sandiwara
Penulis : Bunga Rosania Indah
Buku : Batalyon Abstrak 2
Harga : Rp. 60.000,-
320 Halaman
Model : Lukman & Nike

 Dinar melempar kopernya diatas kasur, hawa amarah merasuki pikirannya.
Adnan sang suami nampak marah tapi ia nyaris sekuat tenaga menahan emosinya, "Kamu mau kemana Dinar?!" Teriaknya.
Dinar masih dengan gelap mata mengeluarkan semua isi lemarinya dan menumpahkannya di koper besarnya.
"Aku sudah tak tahan lagi hidup bersamu, kamu tahu! Aku seperti terpenjara disini. Tiap hari aku harus mengurus rumahmu dinasmu yang jelek ini, tiap hari aku harus menunduk pada istri-istri atasanmu di asrama ini karena kamu hanya berpangkat rendah! Aku menyesal menikah denganmu!"
Jantung Adnan seperti terhunus belati mendengar perkataan istrinya sendiri, tapi itu belum seberapa, sebelum Dinar mengucapkan "Aku juga ingin hidup kaya, banyak uang, dihormati. Seandainya saja dulu aku menolak lamaranmu dan memilih melanjutkan kuliah pasti aku sudah jadi wanita karir sekarang! Tapi sayangnya aku bodoh memilih menikah denganmu, aku hanya jadi ibu rumah tangga biasa, kamu tinggalkan aku dirumah bersama Aila, anakmu yang nakal itu, dan keponakan harammu itu!"
Adnan mencengkram lengan Dinar, "Jaga ucapanmu Dinar! Nanti anak-anak mendengar ucapanmu! Lagipula Aila itu juga anakmu kan, apa kamu mau lepas tanggung jawab, pergi dari rumah ini dan meninggalkan darah dagingmu sendiri?"
Dinar melepas kasar cengkraman Adnan, "Biarkan saja! Aku sudah muak tinggal dirumah ini, aku sudah muak dengan anak-anak itu!"
PLAK!
Tamparan Adnan melayang, Dinar semakin geram dan mempercepat tujuannya untuk pergi dari rumah. Adnan sebenarnya sungguh tak ingin menampar istrinya namun kali ini Dinar benar-benar keterlaluan.
**
Seorang wanita berusia 31 tahun dengan setelan jas abu-abu elegan dan rambut yang tersanggul rapi nan modern duduk bersandar pada kursi hitam membelakangi meja kantornya. Wanita itu menutup matanya yang lelah, menahan tangis.
Tok. Tok. Tok.
Mata wanita itu membuka, "Ya, masuk!"
Wanita berambut ikal berkacamata agak lebar masuk dan duduk di depan meja kerja.
"Kamu nggak apa-apa, Kinar?" Tanya tamu itu.
Wanita berusia 31 tahun bernama Kinar itu memaksakan senyumnya, ia memutar kursinya. "Tidak. Tidak apa-apa Yuke."
Yuke mendekatkan kursinya pada meja kerja Kinar. "Aku sungguh tak menyangka Erni mengkhianitimu. Tega-teganya dia melakukan ini!"
Kinar terdiam, ia pun tak menyangka, Erni asisten kepercayaannya mengkhianatinya, menusuknya dari belakang. Erni mencuri sketsa perencanaan lahan miliknya, akhirnya perusahaan yang dirintis Kinar kalah tender.
"Bagaimana ini Kinar? Apakah kita akan bangkrut?" Tanya Yuke, sahabat Kinar sejak memulai bisnis. Mereka berdua pemodal utama perusahaan Catur Elang Persada.
"Mungkin di bisnis lahan ini kita akan bangrut Yuke," ujar Kinar datar. Ekspresi Yuke seketika tak bersemangat. Kinar menangkapnya. "Tapi kamu tak usah khawatir, aku masih punya rencana cadangan."
"Apa itu Kinar?" Yuke nampak tak sabar, wajahnya mulai bersemangat.
"Kita tak betul-betul bangkrut Ke, sebelum tender ini dimulai, aku sudah mengalokasikan 43% modal kita pada sebuah hotel dan rumah sakit. Aku sengaja tak memberitahumu agar ini tetap menjadi rahasia. Sebenarnya aku sudah berfirasat akan terjadi hal buruk pada bisnis kita."
"Benarkah?" Yuke berbinar, "Insting bisnismu memang tak diragukan, itulah kenapa sejak dulu aku selalu mengikuti langkahmu." Yuke tersenyum lebar.
"Tapi..."
"Tapi apa Kinar?"
"Aku merasa nyawaku terancam, beberapa hari lalu ada yang menyelinap ke dalam rumahku tapi saat itu aku segera bersembunyi."
"Apa!! Kamu tahu siapa itu?"
"Sayangnya tidak."
"Apa mungkin Erni? Tapi apa motifnya mencelakaimu?"
"Yang menyelinap ke rumahku malam itu sosok laki-laki tinggi besar. Kurasa bukan Erni."
"Bisa saja dia orang suruhan Erni." Kalimat terakhir Yuke membuat hati Kinar berdebar.
"Ke, aku minta kamu mengelola Hotel dan rumah sakit itu. Untuk sementara aku akan bersembunyi sampai keadaan aman."
Dahi Yuke mengernyit, "Kamu mau bersembunyi dimana Kinar?"
Kinar diam, ia menarik nafas lalu menghelanya pelan, "Aku masih memikirkannya..."
**
3 hari kemudian...
"Suasana duka menyelimuti kediaman pengusaha sukses Kinari Asmaranti, almarhumah ditemukan tewas dikamar hotel bersama seorang pria. Kematiannya diduga karena racun yang dibubuhkan pada minuman yang diantarkan oleh seorang yang menyamar sebagai petugas hotel. Demikian laporan kami sampaikan. Saya Dea Amelia, Selamat malam." Host sebuah stasiun TV lokal yang sedari sore bertengger didepan rumah Kinar tak mau ketinggalan menyiarkan berita kematian Kinar.
Seorang wanita tua berusia sekitar 55 tahun keluar dari sebuah mobil, ia mengenakan kacamata hitam dan syal yang dikerudungkan dikepalanya.
Beberapa wartawan tampak terpukau dengan tamu yang datang kali ini. Mereka tahu bahwa wanita tua itu adalah tante dari Kinar, wanita yang sudah dianggap ibu oleh Kinar karena dialah yang membesarkan Kinar sedari kecil. Seketika para wartawan berbondong-bondong mengejar Riyanti, nama tante Kinar.
Seorang wartawan tiba-tiba nyeletuk, "Bu, apakah benar Ibu Kinari tewas dikamar hotel tanpa busana dengan seorang pria?"
Riyanti menoleh dengan kesal, "Maaf, nanti biar pengacara saja yang menjelaskan!" Riyanti menyegerakan langkahnya dan segera masuk ke dalam gerbang rumah Kinar. Beberapa wartawan nampak belum puas dengan berita yang mereka dapat.
**
Riyanti terpaku menatap jenazah keponakan yang ia sayangi. Air mata tak berhenti mengalir. Yuke mencoba menopang tubuh Riyanti, ia terdiam di samping jenazah itu.
"Yuke, kenapa bisa begini? Siapa orang yang tega-teganya membunuh keponakanku?" Riyanti lunglai lemas bersandar pada Yuke.
"Tante. Tante." Suara wanita dari balik pintu kamar.
Riyanti menoleh, ia sedikit ketakutan karena ia hafal betul itu suara Kinar.
Yuke menggandeng tangan Riyanti, "Jangan takut tante." Riyanti mendongakkan kepalanya pada Yuke, ia sedikit yakin setelah menatap wajah Yuke yang serius. Seorang wanita keluar dari sebuah ruangan. Mata Riyanti terbelalak, ia hampir jatuh lalu menahan napas, "Kinar??!"
Wanita yang dipanggil Kinar itu tersenyum untuk menenangkan hati Riyanti.
Riyanti seketika menoleh pada jenazah yang terbaring dalam peti mati itu, "Lalu... Siapa dia?"
Kinar menghampiri tantenya dan berbicara pelan, "Itu Radinar tante. Ya, aku rasa itu Dinar saudara kembarku, tante." Riyanti terkejut, lebih terkejut dari saat ia mengetahui Kinar masih hidup. "Tante, tolong rahasiakan hal ini. Aku yakin pembunuhan yang terjadi pada Dinar adalah salah sasaran. Sebenarnya pembunuh itu mau mengincar nyawaku."
Wanita paruh baya itu sontak kaget, "Benarkah?! Apa alasan seseorang akan membunuhmu, Kinar?"
Kinar menarik napas lalu menghembuskannya perlahan, "Aku masih menyeledikinya, tante," ujar Kinar sembari mengangkat bahu.
Yuke berpikir sambil mondar-mandir lalu menghentikan langkahnya. "Kinar, hmm, kalau begini, hmm, sebaiknya biarkan saja publik menyangka kamu telah mati, agar para pembunuh itu tidak mencarimu lagi. Setidaknya untuk sementara waktu kamu bisa selamat dan diam-diam kita mencari tahu apa yang tersembunyi dibalik peristiwa ini."
"Betul itu nak, tante pikir ini satu-satunya cara agar kamu bisa aman untuk sementara waktu," timpal Riyanti.
Hening sesaat, Kinar membuka sedikit pintu ruangan untuk memandang jenazah Dinar diruang sebelah. "Lalu bagaimana dengan Dinar tante? Dia juga punya kehidupan sendiri bukan? Apa kita tidak mengabari keluarganya kalau Dinar telah tiada?"
Riyanti menatap dalam pada Kinar, "Jangan! Rencana kita untuk menyelamatkanmu bisa gagal jika sampai ada yang tahu tentang kebenarannya. Sampai semua aman, kamu harus menggantikan posisi Dinar. Tempat teraman saat ini adalah kamu tinggal di rumah Dinar."
Kinar menahan napas, termenung, ‘Bagaimana ini? Aku tak mengenal bagaimana Dinar dan kehidupannya... Meski kami saudara kembar tapi kami sudah dipisahkan sejak bayi,’ ucap Kinar dalam hati.
Riyanti menyentuh bahu Kinar, "Kamu tak usah khawatir, Nak. Tante yang akan mengatur."
"Tapi tante..."
**
Kinar berdiri cukup lama di depan pintu sebuah rumah dinas yang cukup sederhana.
Rumah dinas Serka Adnan Ibrahim. Seribu keberanian sudah ia kumpulkan untuk mendatangi rumah itu namun sejuta keraguan dan ketakutan pun bersamanya. "Bagaimana ini Ya Tuhan..." Kinar menutup mata, "Dinar, maafkan aku... aku terpaksa memakai identitasmu... "
Kinar mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu, namun ia urungkan lagi, "Bagaimana ini, Ya Tuhan..."
Kinar menutup matanya, ia berkaca-kaca mengenang kematian Dinar yang tragis karenanya.
"Bunda... " Seorang bocah perempuan mendatanginya dari arah belakang. "Bunda datang lagi ke rumah ini?" Kata bocah perempuan itu riang. Kinar bisa merasakan kerinduan yang besar dimata gadis itu. Kinar bertanya-tanya dalam hati, ‘Apakah ini Aila, anak Dinar saudaraku. Lalu kenapa ia mengatakan seperti itu... Datang lagi ke rumah ini??? Apa maksudnya? Apakah memang sebelumnya Dinar pergi dari rumah?’ Banyak sekali pertanyaan yang muncul dikepala Kinar. Ia jadi teringat saat ditemukannya jenazah Dinar dikamar hotel itu, ia sedang bersama seorang pria, dan tanpa busana...
Kinar membungkukkan badannya, "Aila, sini sayang... Bunda rindu sama Aila makanya bunda pulang." Kinar mulai memainkan sandirawanya meski sejujurnya hatinya benar-benar tersentuh oleh pertemuannya dengan Aila. Kinar memeluk Aila, ia menitikan air mata, ‘Ya Tuhan, apakah aku harus memainkan peran ini. Seandainya aku jujur... Bagaimana perasaan Aila jika mengetahui ibunya sudah tiada, kenapa aku jadi tak tega, apalagi Dinar meninggal dalam keadaan seperti itu... Pasti akan membuat keluarganya kecewa dan terluka,’ gumam lirih Kinar dalam gejolak batinnya.
"Bunda rindu sama Aila?" Aila menatap wajah Kinar yang disangka ibunya, "Biasanya bunda selalu memarahi Aila," celoteh Aila lagi, bocah perempuan berusia lima tahun itu.
Kinar terdiam beberapa detik lalu senyum mengembang di wajahnya, "Maafkan bunda ya sayang..."
Aila merasa senang saat Kinar meminta maaf padanya.
Kinar menoleh pada seorang bocah laki-laki yang bersembunyi dibalik pintu. Ia mengira-ngira bahwa bocah laki-laki itu kemungkinan adalah Evan, anak adik Adnan. Sebelumnya Kinar telah diberitahu oleh Riyanti, tantenya, bahwa di rumah Dinar juga ada seorang anak lagi selain Aila, dia bernama Evan, anak dari adik Adnan. Adik Adnan meninggal setelah melahirkan Evan, sedangkan ayahnya tak tahu siapa, karena adik Adnan tak pernah membicarakan siapa ayah kandung Evan.
Evan terlihat bersembunyi melihat kedatangan Kinar, ia ketakutan, Kinar menyadarinya. Kinar tersenyum dan mengulurkan tangannya, "Evan, sini sayang..."
Bocah laki-laki berusia empat tahun itu tak bergeming, ia masih takut dengan kedatangan Kinar.
"Ada apa Evan? Sini..." Panggil Kinar lembut.
"Evan takut sama bunda, karena bunda selalu memukulinya," celoteh Aila.
‘Astaga, apakah Dinar berbuat seperti apa yang dikatakan Aila, ya ampun... Seperti apa sebenarnya Dinar?’ gumam Kinar.
"Tidak, bunda janji mulai hari ini akan lebih baik, dan sayang sama Aila dan Evan." Kinar tersenyum hangat, "Oh, ya, bunda ada hadiah buat Aila dan Evan," kata Kinar sembari mengeluarkan kotak musik bergambar princess untuk Aila dan Robot-robotan buat Evan. Evan lama kelamaan mulai mendekat pada Kinar meski masih takut-takut. Kinar memperhatikan Evan, memperhatikan cara berjalan Evan yang tak sempurna, ‘Astaga anak ini cacat kakinya,’ ucap Kinar dalam suara hatinya, matanya mulai berkaca-kaca, ‘Ya Tuhan anak sekecil ini...’
SELENGKAPNYA DI BUKU BATALYON ABSTRAK 2
pemesanan langsung ke :
Penerbit Harfeey Yogyakarta
ketik : judul buku_nama&alamat lengkap
sms ke : 081904162092

KISAH LEMBAH HIJAU (Ketegaran Wanita)

KETEGARAN WANITA
“Banyak orang yang mengatakan bahwa aku mandul, aku pun menyadari mungkin itu benar. Hampir 10 tahun aku menikah dengan Mas Irwan, kami belum dikaruniai seorang anak. Hingga di tahun ke sebelas, kami memutuskan untuk bercerai. Sejujurnya aku masih mencintai Mas Irwan, tapi mantan mertuaku yang selalu merong-rong Mas Irwan menikah lagi untuk mendapatkan keturunan, aku menyerah. Bisa saja Mas Irwan memadu aku, tetapi ia yang seorang aparat dan terikat dinas, tidak memungkinkan untuk memiliki istri lebih dari satu. Aku mengalah dan bercerai. Tiga bulan setelah perceraian kami, Mas Irwan menikah lagi dengan wanita pilihan orang tuanya.  Kini usiaku sudah 30 tahun, ketika aku menikah dulu, usiaku baru menginjak 19 tahun. awalnya ku frustasi, tapi aku harus nelanjutkan hidupku. Aku berusaha melupakanmu.” Tulis Zarima dalam selembar kertas lalu memasukkannya dalam sebuah botol dan membuangnya ke lautan luas.
Sudah 3 bulan Zarima bekerja di kedai makanan milik orang Chinese, karena ijazahnya yang Cuma lulusan SMK Tata Boga, terlebih lagi usianya yang sudah memasuki kepala tiga menyabebabkan Rima, panggilan akrab Zarima, kesulitan mendapatkan pekerjaan lain. Akhirnya ia bekerja di kedai makanan yang lokasinya tak jauh dari asrama tentara tempatnya dulu tinggal bersama Irwan, mantan suaminya. Sebenarnya berat bagi Rima untuk bekerja di tempat yang lokasinya cukup berdekatan dengan rumah mantan suaminya.
Matahari sudah setinggi batas kepala, siang itu beberapa ibu-ibu berseragam persit datang ke kedai, sebagian dari  mereka mengenal Rima. Ibu-ibu itu mulai berkasak-kusuk saat melihat Rima, Rima tak peduli, ia tahu kebiasaan ibu-ibu asrama memang seperti itu. sampai salah satu ibu yang berbadan gempal yang sangat Rima kenal bernama Bu Nandang berceletuk, “Ya ampun Bu Irwan, eh Bu Rima, kok bisa jadi begini sekarang.” Kata-kata Bu Nandang yang mengiba tapi nadanya mengejek. Rima hanya tersenyum datar, dalam hati Rima berkata, “Ya Allah, kuatkanlah aku.”
“Iya bu, kasihan ya. Tuhan memang maha adil, di kasih wajah cantik tapi nggak bisa punya anak, mending wajah jelek tapi bisa punya anak,” Bu Pandu menimpali. Semakin kecil hati Rima, ia tak mengerti apakah semua itu sindiran untuknya. Selama ini Rima sudah kenyang memakan semua sindiran yang berhubungan dengan anak atau tanpa anak, mungkin sakitnya sudah menumpuk. Rima mengelus dada, berharap mereka segera mengalihkan pembicaraan itu.
“Kalian ini kenapa sih, mulutnya jahat banget,” hardik Bu Agus, Rima mengenal Bu Agus dengan baik.
“Nggak apa-apa Bu Agus, biar saja, saya sudah terbiasa. Hmm, ibu-ibu mau pesan apa ini, menunya enak-enak lho,” ujar Rima berusaha tegar.
“Bu, ini mejanya kotor, tolong di lap ya!” kata salah satu pengunjung kedai.
Rima dengan sigap bersiap, “Baik Bu.”
Rima tak banyak bicara, ia hanya menunduk bergelut dengan lap dan meja yang kotor di hadapannya. Ia tak berekspresi apapun, menyembunyikan rasa sedihnya, dia mengenang saat dulu ia mengenakan seragam persit seperti mereka. Tak disangka, Rima pun tak pernah membayangkan akan seperti ini akkhirnya, melap meja, melayani tamu dengan kesabaran meski perasaannya teraniaya.
Mereka semua tak mengerti perasaan Rima, mungkin karena mereka lupa bahwa masih ada langit diatas langit. Tidak ada yang tahu nasib seseorang kedepannya, bisa saja mereka punya anak perempuan atau cucu perempuan yang mungkin bernasib sama denga Rima alamai, mereka lupa itu.
Sore itu Rima pamit pada pemilik kedai yang biasa di panggil Cik Wen, untuk pulang. Rima berdiri menunggu angkutan umum yang biasa lewat sore hari itu, tapi tak di sangka Rima melihat mantan suaminya, dan...istri barunya, pengganti Rima. Mereka sedang berjalan-jalan sore. Rima kebingungan, ia berlari dan bersembunyi di balik pohon. Rasanya Rima belum siap jika mereka bertiga harus bertemu. Melihat mereka, hati Rima terasa sesak, Rima jongkok dan menyembunyikan wajahnya yang pilu, meski sudah berusaha melupakan tapi sungguh sulit, apalagi belum setahun mereka bercerai, rasanya Irwan seperti mengkhianatinya, rasanya sakit, sakit, sakit. “Ya Allah, apa yang harus kukatakan padamu, kau tahu betapa sakitnya perasaanku ini, dulu aku yang selalu menemani Mas Irwan berjalan-jalan sore, dulu aku yang ada di posisi itu.” Rima menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya, ia kembali menengok apakah Irwan dan istrinya telah berlalu. Mata Rima memperhatikan tangan Irwan dan istri barunya yang bergandengan. “Ya Allah, aku pasrahkan hidupku padaMu, teguhkan hatiku bahwa dia bukan jodohku, tampar perasaan lemahku ini.” Rima selalu berusaha utuk menguatkan dirinya.
Keesokan hari seperti biasa, Rima bangun untuk menunaikan sholat Subuh serta melanjutkan kegiatan pagi lainnya. Ketika pertama bangun pagi, ia melirik bantal di sebelahnya, tak ada siapa-siapa disana, Rima kini sendiri. Tak jauh berbeda saat ia menyiapkan makanan di meja, sekarang ia harus makan sendiri, tak lagi menyiapkan makan suaminya, tak lagi menghidangkan kopi panas di gelas khusus untuk suaminya, tak lagi menyiapkan baju dinas suaminya. Semua itu tak lagi terjadi. Tak menampik, kadang Rima merindukan itu semua. Bagaimanapun itu aktivitas rutin selama 10 tahun menjadi istri Irwan, bukan hal yang mudah membiasakan diri tak melakukan lagi semuanya itu. untuk membuang rasa sepi itu, Rima lebih banya berzikir disetiap aktivitasnya, sedih itu pasti, namun satu kenyataan adalah hidup itu tetap terus berjalan.
Sekitar jam 8 pagi Rima sudah mulai bekerja di kedai makanan Cik Wen. Dimulai dari mebereskan meja, menyiapkan bahan-bahan masakan dan lainnya. Cik Wen sendiri sangat terbantu dengan adanya Rima, ia menyukai Rima karena ketekunannya dan kreativitasnya menginovasi masakan. Sebenarnya itu bukan hal yang sulit buat Rima, karena ia memang pandai mengolah bahan masakan. Satu persatu pelanggan kedai mulai berdatangan, Rima selalu tersenyum menyambut mereka. Sampai siang kedai Cik Wen ramai, bahkan sejak Rima bekerja, kedai menjadi lebih ramai dari sebelumnya. Siang itu Rima dikejutkan oleh tamu yang datang ke kedai, dia Zarina, kakak kandung Rima. Rima kemudian menemui kakaknya setelah diijinkan Cik Wen.
“Kak Rina ada angin apa kemari?” tanya Rima senang, ia memegangi lengan sang kakak. Zarina pun tersenyum lalu memeluk adiknya itu.
“Rima, aku bersama temanmu kemari,” ujarr Rina.
“Siapa kak?” tanya Rima penasaran.
“Rimaaaaa,” teriak seorang wanita yang berlari kecil kemudian memeluk Rima.
“Puput? Puput ya ampun, lama tidak bertemu.” Rima terharu bertemu kembali kawan lamanya itu.
Mata Puput berkaca-kaca, “Rima, maaf aku baru mengetahuinya, aku sangat sedih mendengarmu sudah bercerai.” Mata Puput menatap prihatin, “Lalu kau sekarang bekerja di sini?”
Rima hanya tersenyum, agak dipaksakan.
“Rima, kalau kamu butuh bantuan apapun, aku siap membantumu.” Puput menggenggam tangan Rima. Puput adalah sahabat Rima di SMK dulu, mereka berdua sangat akrab, bahkan Puput tahu awal pacaran Rima dan Irwan.
“Put, bukannya kamu di Bengkulu ikut tugas suamimu kesana?” tanya Rima.
“Iya, tapi minggu lalu aku pindah ke sini. Kebetulan kemarin aku ketemu kak Rina di Bank, pas aku mau nabung. Lalu kutanya kabarmu pada Kak Rina.”
“Iya Rima, kemarin aku tak sengaa ketemu Puput. Dan aku janjian hari ini untuk sekalian menjengukmu, mumpung ini hari sabtu, Bank buka setengah hari,” ujar Rina yang seorang Teller di sebuah Bank.
“Rima, Kak Rina sudah cerita semuanya tentangmu dan Irwan. Aku minta maaf ya Rima jika kata-kataku ini mungkin menyinggungmu tapi Mas Irwan kok tega sekali membiarkan perceraian kalian. Ya Allah...Rima, kuingat dulu saat Mas Irwan PDKT sama kamu, saat itu dia masih pendidikan Secaba, dia bela-belain nemuin kamu untuk mengatakan dia cinta sama kamu, padahal saat itu dia belum diperbolehkan weekend. Aku jadi ingat saat Mas Irwan mengirimkan rangkaian bunga ke sekolah, sampai-sampai kamu disorakin teman-teman,” kenang Puput.
“Sudah Put, jangan di teruskan.”  
“Maafkan aku Rima, aku sangat minta maaf tapi aku tidak terima kamu, sahabatku, dan sekarang diperlakukan seperti ini,” kata Puput geram.
“Iya Rima, aku sedih dek melihatmu seperti ini sekarang, tadi aku melihatmu mencuci piring membersihkan meja dek, seandainya dulu kamu mau untuk kuliah, setidaknya jika kamu punya gelar sarjana seperti aku, kamu bisa mendapatkan kerja yg lebih baik. Dulu Irwan segera melamarmu sesaat setelah kamu lulus SMK, padahal aku sudah menyarankanmu kuliah dan kerja dulu sebelum menikah.” Rima menatap iba adiknya, Rima tak berkata apapun, dia berusaha sabar dan tersenyum. Rima tahu, kakaknya maupun sahabatnya berkata demikian karena mereka berdua sayang sama Zarima.
“Rima aku juga minta maaf padamu, sewaktu dulu kita masih kecil sejujurnya aku selalu iri padamu, kamu cantik, ibu dan bapak selalu membanggakanmu karena kamu selalu juara kelas, aku selalu di nomer duakan, apalagi saat kamu remaja, banyak sekali yang mendekatimu sampai akhirnya kau menikah lebih dulu dan melangkahiku Rima, ya Allah, Rima adekku, kemana kamu yang dulu, jika tahu hidupmu seperti ini sekarang.” Rina sedih melihat nasib adiknya kini, air mata Rina menetes. Rima masih tersenyum lalu mengusap air mata kakaknya.
“Kak Rina tidak boleh begitu. Ini semua takdir Allah kak, yang aku butuhkan dari kak Rina dan Puput, hmm, tolong doakan aku, cukup itu saja. Yang lalu biarlah berlalu.” Rima berusaha menepis kesedihan kakaknya. Puput dan Rina menunduk mendengar perkataan Rima.
Sore itu Rima pulang dari kedai seperti biasanya, saat akan menunggu angkutan, tiba-tiba sebuah motor berhenti di sebelah Rima.
“Dek Rima mau pulang? yuk mas anterin,” kata Romi, Rima mengenal laki laki ini, dia satu letting sama Irwan, bukannya Rima ge-er tetapi Rima tahu gelagat Romi yang berusaha mendekati Rima dua bulan ini. Tiap saat Romi datang sekedar makan di kedai dan kadang berpura-pura kebetulan lewat saat sorenya, berusaha mendekati Rima dengan menawarkan tumpangan pulang. Tetapi yang membuat Rima tak simpatik dan cenderung sebal pada Romi karena ia sudah beristri, Rima kenal dengan istri Romi, apalagi istri Romi baru saja melahirkan. Rima berpikir tega-teganya laki-laki ini mendholimi istrinya yang baru saja berjuang melahirkan darah dagingnya sendiri.
“Maaf Mas Romi saya naik angkot saja,” tolak Rima.
“Ayolah dek Rima, kebetulan kita searah kok,” ajak Romi tak menyerah.
“Maaf sekali lagi Mas Romi, kalau mau duluan silahkan saja, saya tidak enak jika Mas Romi berlama-lama sama saya disini, nanti ada prasangka orang.” Rima memandang kearah jalan raya berharap ada angkutan yang segera bisa membawanya jauh dari Romi.
“Ah kamu alasan saja, ayolah Rima, jangan jual mahal.” Kali ini kata-kata Romi kelewat batas dan membuat Rima tersontak kaget.
“MasyaAllah mas, saya bukan wanita seperti itu, Astagfirullah..” Rima masih schock dengan kata-kata melecehkan Romi.
“Lho Bu Rima sama Pak Romi ngapain berduaan disini?” kata seorang ibu yang kebetulan lewat, dia Bu Musa, sang biang Ghosip di asrama. “Hmm, ada gelagat tidak baik ini,” lanjut Bu Musa lagi.
Rima segera menyetop angkutan dan segera bergegas naik angkutan. “Maaf Bu Musa, Mas Romi. Saya pamit duluan.” Rima dan segera berlalu.
Kesedihan Rima tak berhenti hanya disitu, didalam angkutan dia bertemu dengan seorang bapak, bernama Pak Mulyanto.
“Lho ini Bu Irwan kan?”
Rima tersenyum ramah tamah, “Iya pak, tapi panggil saja saya Bu Rima.” Lagi-lagi nama Irwan tak lepas dari hidup Rima.
“Lho, oh iya, maaf bu saya lupa kalau Bu Irwan eh Bu Rima sudah nggak sama Pak Irwan lagi.”
“Iya pak, nggak apa-apa.” jawab Rima singkat.
“Wah bu saya ingat banget pas pertama kali Bu Rima sama pak Irwan di asrama ini, mesra banget, kemana-mana Bu Rima selalu dianterin sama pak Irwan, duh bu eman-eman banget kok pisah.”
Sebenarnya kata-kata Mulyanto ini adalah hal umum tapi bagi Rima sama saja membuka luka lama. Ia jadi mengenang, dulu pertama kali menyususri jalan ini bersama Irwan, di bulan Desember, saat hujan mengguyur deras, Irwan menutupi kepala Rima dengan jaketnya karena tak membawa payung. Rima menghela nafas, “Oh Tuhan, semua cepat sekali berlalu,” ucap Rima lirih dalam hatinya.
Malam hari setelah Rima pulang dari Masjid untuk sholat Isya, ia mampir ke pasar yang tidak terlalu jauh dari rumah kontrakannya untuk membeli martabak telor. Ternyata di situ ia bertemu Bu Andy, mantan ibu Dantonnya dulu.
“Selamat malam ibu,” sapa Rima ramah.
“Eh, Bu Rima kok bisa disini?” Bu Andy setengah terkejut melihat Rima.
“Iya ibu, rumah kontrakan saya deket dari sini. Kalau ibu berkenan mampir ke rumah Bu.” Rima menunjuk beberapa gang di depannya.
“Iya Bu Rima terima kasih. Ini lho bu, anak saya Salsa dari sore nangis terus minta martabak, mana saya lagi sibuk,” kata bu Andy sambil menarik pergelangan tangan anaknya yang berumur 7 tahun itu, terlihat sekali wajah Bu Andy yang tengah kesal pada sang anak. “Mbak Salsa cantik, kepengen martabak ya?” Kata Rima ramah sambil mengusap rambut Salsa lembut.
“Ah, ini anak nakal bu,” ujar Bu Andy, kemudian Bu Andy menceritakan tiap kenakalan anaknya. Rima mendengarkan keluh kesah bu Andy dengan sabar, sesekali Rima mengelus kembali rambut Salsa. Dalam hati, Rima merasa Bu Andy belum terbuka mata bathinnya, dia tak sadar jika dia telah dikaruniai mutiara indah dari Allah, yaitu seorang anak yang selama bertahun tahun menjadi harapan Rima tapi belum rejeki Rima. Rima menganggap bu Andy kurang bersyukur. Rima berandai-andai, seandainya dia yang di karuniai seorang anak, senakal apapun Rima tetap bersyukur. Karena ia tahu betapa dukanya tanpa kehadiran buah hati dalam sebuah pernikahan, seolah-olah semua mata memandangnya sebagai wanita yang tak utuh.
“Oh iya Bu Rima, Pak Samsir-Danki yang lama sudah diganti lho?”
“Lho knapa bu?”
“Iya, Pak Samsir sakit stroke bu, penggantinya namanya Pak Surya, tapi pak Surya juga kayaknya nggak lama di situ soalnya mau Selapa. Pak Surya ini masih muda lho bu, mungkin sebaya Bu Rima, beliau punya satu anak perempuan.”
“Astagfirullah, Pak Samsir kena stroke bu? Padahal Pak Samsir dan Bu Samsir orangnya baik banget bu. Hmm, di ganti Pak Surya ya bu. Selapa? berarti lulusan Akmil ya bu?”
“Iya bu Rima, anaknya Pak Surya lucu banget, kadang di ajak main sama Salsa ke rumah.”
Sekitar 10 menit Bu Andy dan Rima bercakap-cakap, Rima pun pulang ke rumah kontrakannya. Betapa kagetnya Rima setiba di depan rumah kontrakannya yang berukuran kecil itu, telah menunggu seseorang di depan teras rumahnya.
“Mas Irwan, ada perlu apa?” Rima menatap Irwan dengan heran.
“Dek Rima, dari mana malam-malam begini baru pulang?” tanya Irwan.
“Saya dari Masjid mas, sekalian beli martabak.”
“Beli martabak? memangnya mau ada tamu ya malam-malam begini?” tanya Irwan curiga.
”Maaf maksudnya apa ya mas?” tanya Rima bingung.
“Maaf Dek Rima. Saya cuma ingin tahu kabar Dek Rima, makanya saya kesini.” Irwan menatap lembut mantan istrinya itu.
Rima melengos, ia tak ingin kembali jatuh terbawa suasana. “Alhamdulillah saya baik mas.” Rima kembali menatap Irwan, “Kalau begitu Mas Irwan bisa pulang sekarang ya mas, saya nggak enak kalau ada yang salah prasangka jika mas Irwan malam-malam ke rumah saya,” kata Rima, Irwan terkejut mendengar perkataan Rima. Rima mulai mengambil kunci rumah kontrakannya dari dalam tas mukena yang di tentengnya dan segera membuka pintu.
“Tunggu dulu dek, saya mau curhat sedikit, hmm, maaf dek saya belum sempat mengenalkan Marliana, istriku,” ucap Irwan ragu. “Kenapa ya dek saya sering membandingkan Marliana sama Dek Rima. Istriku, Marliana tidak bisa masak, masakannya nggak enak, beda sama masakannya Dek Rima. Saat kegiatan persit, ia juga tidak bisa apa-apa, tidak bisa Volly, tidak bisa bicara di depan umum, saya malu sekali. Semua pekerjaan rumah tidak beres. Beda sekali saat Dek Rima yang menjadi istriku.”
Rasanya Rima mau bilang sama Irwan bahwa meski Rima pintar masak, pandai ngurus rumah, aktif persit, pandai Volly dan sebagainya tapi tetap saja Irwan memilih Marliana hanya karena satu kekurangan Rima yang tidak bisa punya anak, jadi untuk apa dia berkata semua ini ke Rima. Tapi Rima tidak mengatakan itu semua.
“Mas Irwan tidak boleh berkata demikian, Mas Irwan harus tetap bersyukur pasti dia memiliki kelebihan yang tidak kumiliki, maaf sekarang Mas Irwan pulang saja,” usir Rima sopan.
“Dek Rima kok begitu. Saya kangen sama dek Rima,” ucap Irwan akhirnya, tangan Irwan ingin menyentuh tangan Rima namun Rima segera menghempasnya.
“Maaf mas.” Rima pun pergi meninggalkan Irwan, masuk ke dalam rumah kontrakannya dan mengunci pintu. Di balik pintu itu Rima bersandar sambil menangis, hatinya seperti teriris dengan harapan yang di tunjukkan Irwan. “Ya Allah kuatkan hati hamba.” Cukup lama ia bersandar di pintu itu.
Keesokan paginya Rima mulai bekerja seperti biasa.
“Bu Rima itu ada yang cari di depan.” Cik Wen menunjuk,
Rima pun menengok siapa yang mencarinya. Ternyata disitu ada Bu Musa, Bu Pandu dan Bu Romi.
“Maaf ibu-ibu ada apa ya?” perasaan Rima tidak enak.
“Halah kamu nggak usah berlagak.” kata bu Pandu.
“Iya, Bu Rima udah ngaku saja.” Bu musa mulai menghakimi.
“Maaf bu, saya tidak mengerti,” kata Rima.
“Maaf bu Rima, saya mohon jangan ganggu suami saya!” ucap Bu Romi.
“Lho ibu-ibu ada apa ini ribut-ribut di depan kedai saya?” Cik Wen sengaja keluar untuk menghentikan ibu-ibu itu menghakimi Rima.
“MasyaAllah Bu Romi, saya bukan orang seperti itu bu.” Rima terkejut, hatinya pedih dengan tuduhan-tuduhan ibu-ibu itu.
“Halah Bu Rima ini mengelak, saya melihat dengan mata kepala saya kemarin, Bu Rima sama Pak Romi.” Bu Musa semakin menyulut keadaan.
“Mentang-mentang janda,” ujar Bu Pandu sinis.
“Bu Romi demi Allah saya tidak ada hubungan apa-apa sama pak Romi,” Rima berusaha meyakinkan.
“Jangan percaya, Bu Romi,” hasut Bu Musa.
“Bu Romi tolong ya tanyakan saja sama suami anda, jika dia bilang iya, saya minta buktinya, Bu Musa dan Bu Pandu saya bersumpah demi nama Allah saya bukan wanita seperti itu, disini ada Cik Wen yang mendengarkan Bu Musa sudah menfitnah saya dan mencemarkan nama baik saya, Bu Pandu juga menghasut Bu Romi, saya tidak segan-segan melaporkan anda ke pihak yang berwajib atas pencemaran nama baik!” Kata Rima tegas sembari menatap ketiga ibu di hadapannya itu. Setelah digertak Rima, ketiga ibu itupun pergi dengan hati kesal.
“Bu Rima nggak apa-apa?” tanya Cik Wen prihatin.
“Iya Cik nggak apa-apa.” Rima memandangi ketiga ibu yang berlalu sudah cukup jauh dari pandangannya, tak habis pikir, apa sebenarnya salah Rima pada mereka. Rima berusaha dan lagi-lagi tetap sabar menerima ujian demi ujian hidupnya.
Tak lama seorang kurir pos datang ke kedai itu.
“Maaf bu, ini ada surat buat Ibu Zarima Aida.” Pak Pos menyerahkan sepucuk surat pada Cik Wen, Cik Wen lalu menyerahkannya pada Rima. Rima membaca tulisan yang tertera dibagian depan amplop. “Hotel Yogyakarta Residence.” Rima teringat sebulan lalu dia ikut lomba membuat resep masakan, dan menggunakan alamat kedai tempat ia bekerja.
“Terima kasih ya Pak.” Rima mulai membuka isi amplop, mataya terbelalak, terkejut dan girang, “Alhamdulillah,” ucap Rima senang. Ia diterima ikut tes percobaan untuk menjadi seorang chef, waktunya 1 minggu lagi.
“Mamaaaaa...” teriak seorang bocah perempuan dari seberang jalan.
Rima terkejut karena bocah kecil itu tiba-tiba berlari menyebrang jalan bersamaan dengan motor yang melaju kencang dari sisi kiri jalan.
“Awas!” teriak Rima pada bocah perempuan itu, tapi gadis kecil itu sepertinya tak mengerti perkataannya.
“Mamaaaa,” teriak gadis kecil itu lagi, Rima berlari dan berusaha mencegah anak itu menyebrang jalan. Akhirnya Rima berhasil mendorong anak itu tetapi sebaliknya Rima yg tertabrak motor yang melaju kencang itu.
Satu jam kemudian, Rima perlahan-lahan membuka matanya, ia masih bingung kenapa ia ada di kamar rumah sakit, sekejap ia tersadar bahwa ia tadi sempat pingsan karena tertabrak motor. Rima melirik bingung kenapa di sebelahnya duduk seorang pria sedang memangku bocah perempuan.
“Mama..mama..” kata gadis kecil itu lagi, Rima bingung kenapa anak perempuan ini memanggilnya mama. Rima ingat anak ini, gadis kecil yang di tolongnya tadi. Rima berusaha bangun dari posisi berbaringnya.
“Nak kamu nggak apa-apa?” tanya Rima pada gadis kecil berusia sekitar 2 tahun itu.
“Anye nggak apa-apa mbak,” jawab pria yang memangku bocah berkucir dua yang ditolongnya. Pria itu menyambung kembali kalimatnya, “Saya minta maaf ya mbak, karena telah menyelamatkan anak saya, mbak jadi terluka begini,” Ucap pria itu.
“Ibu sudah sadar?” perawat masuk dan mengecek kondisi Rima. Dokter kemudian masuk pula. “Untungnya ibu tidak cedera parah, ini luka ringan di tangan dan kaki, mungkin karena shock, ibu jadi pingsan,” dokter menimpali. “Ini sudah saya tuliskan resep, nanti bisa di bawa pulang.”
“Alhamdulillah kalau mbak ini tidak kenapa-napa,” ekpresi lega tergambar di raut wajah pria itu.
“Iya dokter, terima kasih,” kata Rima.
“Ibu boleh istirahat dulu disini, sampai kondisi ibu agak baikan, atau setidaknya ibu sudah mampu untuk berjalan pulang,” saran dokter.
“Ini bu resepnya, nanti biar suami ibu yang mengurus administrasi, ibu silahkan istirahat dulu saja.” Perawat berbaju putih dengan list baju hijau tosca itu memberikan secarik kertas resep obat.
“Maaf sus, mas ini bukan suami saya,” ujar Rima sungkan.
“Oh maaf bu,” kata perawat itu sebelum meninggalkan kamar perawatan Rima.
“Mama..mama...” Gadis kecil itu kembali memanggilnya mama.
“Hai, adek cantik namanya siapa?” tanya Rima sambil mengelus pipi dan rambut bocah itu. Rima tersenyum hangat.
“A-Ane,” celoteh sang bocah dengan aksen gaya khas anak seusianya.
“Namanya Anye, Anyelir,” kata pria yang memangkunya. "Oh ya, saya Surya.” Pria itu memperkenalkan diri.
“Saya Zarima Aida, panggil saja Rima, mas.” Rima membalas uluran tangan Surya. “Maaf Mas Surya, kenapa adek ini memanggil saya mama?”
“Maaf Mbak Rima, sejujurnya saya juga tidak tahu.”
“Panggil saja saya Rima, mas.”
“Iya Rima.” Surya canggung, “Hmm, saya panggil Dek Rima saja.” Surya memperbaiki posisi pangku Anyelir, putrinya. “Anye sejak lahir sudah ditinggal ibunya, istri saya meninggal ketika melahirkan Anye,” kata Surya. Rima terdiam lalu kembali tersenyum ke anak bernama Anyelir itu. Pikir Rima gadis kecil ini pasti merasa kesepian seperti dirinya.
“Nak Anye sini dipangku tante,” Rima mengulurkan tangannya.
“Mama, bukan tante," ucap Anyelir.
“Mohon maaf ya Dek Rima, anak saya pendiriannya agak keras.” Surya menjadi tak enak pada Rima karena Anyelir selalu memanggil Rima, mama.
“Oh iya, sini Anye.” Rima kemudian memangku Anyelir. Gadis kecil itu tertawa tawa dipangkuan Rima.
“Dek Rima kerja di kedai itu ya?” tanya Surya.
“Iya mas,” jawab Rima singkat, Rima menikmati bermain bersama Anyelir.
“Oh ya Dek Rima, ini HP Dek Rima, mungkin jatuh saat menolong Anye, HP Dek Rima hancur terlindas motor.” Surya menyerahkan rongsokan HP milik Rima.
“Iya, nggak apa-apa mas, yang penting Anye tidak kenapa-napa.” kata Rima. Surya termangu mendengar ucap Rima yang mengkuatirkan putrinya.
Dua hari ini Rima tak masuk kerja, Cik Wen mengerti keadaan Rima dan mengijinkannya untuk istirahat beberapa hari. Tangan Rima masih terasa sakit, sedari pagi hingga sore Rima hanya beristirahat di kamar, sesekali ia bangun untuk menunaikan sholat ataupun makan untuk mengganjal perutnya.
Tok Tok Tok. Rima mendengar seseorang membuka pintu, dengan susah payah ia bangkit dari ranjangnya dan melangkah ke depan untuk membuka pintu. Beberapa saat setelah Rima membuka pintu. “Mamaaa....Mamaaa...” ternyata Anye dan Surya.
“Anye,” kata Rima heran, Anyelir berlari memeluk Rima, Rima pun balas memeluknya.
“Sore Dek Rima, bagaimana keadaan Dek Rima?" tanya Surya sembari tersenyum.
“Alhamdulillah baik mas, Anye bagamana kabarnya sayang?” tanya Rima pada Anyelir, entah mengapa Rima jadi sangat menyayangi bocah kecil itu, sebenarnya dua hari ini Rima kepikiran tentang mengapa Anye selalu memanggilnya mama, dan panggilan Anye itu sangat ia rindukan selama ini.
“Baik,” jawab Anyelir polos.
“Maaf dek, ini ada sedikit buah,” kata Surya sambil membawa sekeranjang parsel buah.
“Nggak usah repot-repot mas, Anye dateng kesini saya sudah senang.” Surya lagi-lagi terenyuh dengan kata-kata Rima, bagaimanapun Rima baru mengenal Anye.
“Anye mau makan apa?” tanya Rima.
“Naciii oyeng,” Anyelir bermanja-manja di pelukan Rima. Surya memperhatikan mereka, Surya lalu melihat tangan Rima yang masih memar, ia kemudian mengalihkan Anyelir untuk duduk di kursi agar tak menyentuh tangan Rima yang masih sakit jika Anye berlama-lama di pelukan Rima, ia kuatir pada Rima.
“Nasi goreng? Okey, Anye cantik tunggu disini dulu ya.” Rima beriri.
“Nggak usah repot-repot dek, duh maaf ini Anye ngerepotin terus jadinya,” kata Surya sungkan.
Rima tersenyum pada Surya, “Nggak mas, saya nggak merasa di repotkan.” Rima melangkah ke dapur. Tujuh menit kemudian Rima keluar dari dapur dengan sepiring nasi goreng buatannya untuk Anyelir. Gadis kecil itu tampak sangat senang, Anyelir meminta Rima untuk menyuapinya. Rima sangat senang menyuapi Anye, sejujurnya Rima rindu ingin suasana seperti ini, bisa menyuapi seorang anak.
“Dek Rima di sini sendiri, kok tidak ada keluarga lain?” tanya Surya.
“Hmm, Mas Surya mungkin heran. Tapi saya memang hidup sendiri mas, saya sudah bercerai.”
“Anak?”
“Saya tidak punya anak mas.”
“Oh maaf ya dek, saya tidak bermaksud menyinggung.” kata Surya, Rima pun tersenyum wajar.
“Mama cuap lagi.” Anye meminta untuk disuapi Rima lagi. Rima menuruti apa yang diminta Anye. Mata Rima selalu memandang segala tingkah Anye, ia bahagia sekali, melihat semua apa yang di celotehkan Anye.
“Mama mam juga,” kata Anye, kemudian Anye mengarahkan sendok ke arah Rima. “Mama cuap Papa,” kata Anye, kali ini Rima bingung, tapi Anye mengarahkan sendok yang dipegang Rima ke bibir Surya. Surya pun tampak bingung dan malu saat Rima menyuapnya nasi goreng itu atas permintaan Anye.
Tiba-tiba seseorang muncul dari pintu yang terbuka.
“Rima!” kata Irwan spontan, Rima pun terkejut karena kedatangan Irwan yang tiba-tiba.
“Mas Irwan?” Rima berdiri dari duduknya.
“Aku dengar kamu baru saja kecelakaan?” tanya Irwan.
“Iya, tapi alhamdulillah tidak apa-apa.” Rima kemudian melirik Surya, "Oh ya Mas Surya ini kenalkan Mas Irwan, mantan suami saya.”
“Selamat sore komandan,” sapa Irwan hormat.

“Komandan?” Rima bingung.
SELENGKAPNYA DI BUKU KISAH LEMBAH HIJAU
 

BATALYON ABSTRAK (Sebuah Aula)

Spesial Sinopsis : Cerpen Sebuah Aula
Penulis : Bunga Rosania Indah

Batalyon TC 1976.
Baru 3 bulan anak keduaku lahir, namun suamiku kembali ditugaskan ke daerah konflik, itu berarti aku harus hidup mandiri. Sebenarnya itu bukan masalah karena sejak awal aku memang tipe wanita yang mandiri. Namun, entah mengapa di rumah yang kudiami sekarang ini, disebuah batayon prajurit baret hitam, aku merasakan sesuatu yang lain.
Aku baru menempati rumah ini 5 bulan, namun karena rumah orangtuaku tak jauh dari asrama, tak ayal membuatku tak sering berada disini. Tapi kali ini berbeda, karena suatu hal aku harus terbiasa untuk tinggal di asrama.
Baru 2 hari suamiku berangkat tugas, aku tinggal dirumah dengan kedua anakku yang berusia 3 tahun, dan 3 bulan. Kulihat putra pertamaku sudah tertidur pulas dengan guling kesayangannya penggantiku, sementara aku masih harus berusaha menina bobokkan anak keduaku yang memang cenderung cengeng. Berjam-jam aku menggendong putra keduaku ini yg tak brhenti menangis, kadangkala aku merasa frustasi, tapi aku tak bisa menyerah begitu saja sebagai seorang ibu.
Hampir jam 1 malam, akhirnya putra keduaku bernama Rama, tertidur. Pelupuk mataku pun sudah amat berat. Kuletakkan Rama bersebelahan dengan Bisma, kakaknya.
Aku menghembuskan nafas, ku pikir ada baiknya jika aku mengisi perutku dulu sebelum tidur, maklum saja aku selalu merasa lapar, karena masih menyusui.
Aku berbalik dan merasa heran, aku menggeleng pelan, "Tidak mungkin, tadi pintu kamar ini belum aku tutup?" Aku berpikir keras dengan penglihatanku, aku ingat jelas pintu kamar belum aku tutup, tapi mataku tak bisa berbohong, pintu kamarku tertutup rapat. Aku kembali menggeleng, ah, pasti ada yang keliru dengan ingatanku.
***
Matahari pagi menyembul di ufuk timur, aku terbangun. Pendar sinar mentari seolah-olah mengusap mataku dengan sinarnya. Ku buka kelopak mataku lalu bangkit untuk duduk, aku melihat Rama, anakku pun telah bangun tapi dia hanya diam, matanya berkeliling di langit-langit kamar, ya begitulah anak bayi. Namun aku sedikit terkejut Bisma tak ada di ranjang. Aku bangkit dari ranjang lalu keluar kamar meninggalkan bayiku sesaat untuk mencari BIsma."Bisma??" Teriakku. Tak ada jawaban. Aku kembali berteriak "Bisma?!"BRUUGG!!!Mataku terbelalak, aku mendengar sesuatu terjatuh dari dalam kamar. Seketika terlintas bayiku yang kutinggalkan sendiri dari dalam kamar, tengkukku panas, firasat buruk jika bayiku terjatuh dari ranjang menyelimuti pikiranku. Aku segera berlari masuk ke dalam kamar, "Bisma?" aku mendelik melihat isi kamar, Bisma, anakku duduk di sisi ranjang di sebelah Rama."Bisma. Suara apa itu? Ibu mendengar ada benda jatuh?"
Bisma menggeleng, "Nggak ada suara apa-apa, Bu."
Dahiku mengereyit, kupandangi suasana kamar yang memang baik-baik saja. "Bisma, kamu dari mana saja? tadi Ibu mencarimu."
Bisma balas menatapku, "Bisma nggak kemana-mana, Bu. Sedari tadi Bisma di kamar."
Aku semakin bingung, tak mungkin, dari sorot mata putraku itu aku yakin dia berkata jujur."Bisma, tadi ibu liat kamu nggak berada dikamar ini," nadaku sedikit pelan agar putraku itu merasa nyaman.
"Bisma sembunyi dikolong ranjang, Bu."
Aku menghembuskan nafas setengah lega. "Kenapa kamu sembunyi di kolong ranjang? sejak kapan?"Bisma menggeleng, aku jadi merasa bodoh menanyakan hal itu, terang saja, Bisma masih 3 tahun, ia tak tahu mengenai putaran jam.
"Bisma sembunyi di kolong, karena..."
Tok. Tok. Tok.
Aku menoleh kearah luar jendela, lalu kembali memandang Bisma, "Kamu tunggu disini dulu ya, Nak."
Aku berjalan meninggalkan kamar menuju ruang depan. Bersiap membuka gagang pintu kayu.
"Assalamu Alaikum." Suara dibalik pintu.
Kubuka pintu, "Waalaikum salam."
Senyum mengembang di wajah tua wanita yg berdiri tepat di hadapanku, "Rumahnya Bu Mukti?"
Aku membalas senyuman, "Mbok Dar, ya?"
Wanita setengah tua itu mengangguk. Aku bisa tersenyum lega, akhirnya pembantu yang dikirim orangtuaku ke rumah sudah datang. "Bu, saya hanya bekerja dari pagi sampai siang," Mbok Dar menegaskan padaku.
"Iya, Mbok. Saya sudah dikasihtau sama Ibu." Sebenarnya dengan gaji tentara dijaman ini sungguh mustahil aku mempunyai tanggungan pembantu, namun orangtuaku khawatir karena aku sedang di tinggal tugas suami serta memiliki 2 anak kecil, oleh karenanya orangtuaku bersedia mengupahi pembantu buatku.
Pagi itu Mbok Dar langsung bergiat di dapur, menyetrika, menyuci dan membersihkan rumah.
"Mbok, saya ke tukang sayur dulu ya. Titip Rama, dia sedang tidur di kamar."
Mbok Dar menggangguk, "Baik Bu."
Beberapa saat sebelum aku melangkah, mbok Dar menghentikanku.
"Bu..."
"Iya?"
"Bangunan yang dibelakang rumah, itu bangunan apa ya?"
"Itu aula, Mbok."
"Masih di pake, Bu?"
"Hmm, kalau ada kegiatan ibu-ibu, hanya memakai ruangan di sampingnya, sedang aula itu hanya untuk tempat penyimpanan alat-alat seni, senjata-senjata yang sudah usang dan peralatan olah raga batalyon."
"Oh."
"Kenapa, Mbok?"
"Nggak apa-apa, Bu. Hmm, Adek kalau di tinggal keluar rumah sebaiknya di sematkan bengle di bajunya, Bu. Sisir, Cermin, dan Gunting letakkan di dekatnya."
Aku tersenyum, aku tahu Mbok Dar wanita yg berasal dari pedasaan, olehnya hal-hal berbau kejawen mungkin masih kental.
Aku menunduk karena terasa ada menarik ujung bajuku. "Bisma?"
"Bu, Bisma mau ikut."
***
Aku menatap atas gerobak sayur, "Pak, sayurnya kok nggak lengkap?"
"Iya, ni, Bu. Beberapa hari ini hujan terus. Kualitas sayur menurun, jadinya hanya ini." Tukang Sayur mengambil ikan di ember lalu membersihkannya.
"Bu Mukti, mau masak apa hari ini?" Tanya Bu Tomo, tetanggaku yang juga sedang belanja sayur, matanya sibuk berkeliling mencari bahan masakan yang sesuai kantongnya.
"Pengennya sih masak bayam, Bu. Bisma seneng sayur bayam."
"Oh," jawab singkat Bu Tomo. Wanita berambut pendek ikal itu lalu menatapku lurus, "Bu Mukti kalau malam bisa tidur nyenyak?"
Aku sedikit bingung mengenai arah pembicaraannya.
"Bu Mukti nggak pernah dengar suara-suara dari aula belakang?" Tanya Bu Unggul juga.
"Kenapa memangnya, Bu?" Tanyaku.
"Ah, tidak apa-apa, Bu. Hanya saja rumah Bu Mukti kan lebih dekat dengan aula ketimbang rumah kita."
"Iya, Bu. Masa' ibu nggak pernah dengar suara gamelan jawa dari dalam aula itu? Saya saja kadang dengar, tapi saya nggak berani bangun dan langsung tidur lagi."
KISAH SELENGKAPNYA DI BUKU BATALYON ABSTRAK