Translate

Jumat, 19 Desember 2014

KISAH LEMBAH HIJAU 3 (LDR)

Cerpen : LDR
Buku : Kisah Lembah Hijau 3
Harga : Rp.53.000,-

Sinopsis :
Kisah LDR Fahira
Sekedar berbagi kisah. Aku mempunyai kekasih seorang tentara berpangkat Serda, namanya Mas Beni. Kukenal dia dari facebook, singkatnya kami berpacaran jarak jauh karena aku berada di Kediri dan Mas Beni di Papua, dia tugas disana. Tak usah kuceritakan bagaimana suka dukanya berpacaran jarak, yang jelas aku sudah menerima keadaan seperti ini.
Namun selama aku berpacaran dengannya, ada satu hal yang sangat spesial yaitu saat ulang tahunku awal tahun lalu.
Tak seperti biasanya, di tahun-tahun sebelumnya meskipun jauh, Mas Beni menyempatkan mengirimkan kado buatku dan menelepon tepat jam 12 malam saat pergantian usiaku. Namun ini berbeda. Tanggal 22 sore Mas Beni menelponku dan mengucapkan ulang tahun lebih cepat sehari sebelumnya karena ulang tahunku memang jatuh pada tanggal 23. Dia berkata lagi, maaf tak bisa mengirimkan kado karena tak sempat turun ke kota. Jika masalah tak sempat memberiku kado, aku sih nggak masalah, namun yang membuatku heran kenapa ia mengucapkan ulang tahun sehari lebih cepat. Dan akhirnya Mas Beni berujar, "Maaf Hira, kemungkinan nanti malam ataupun besok aku tak sempat menghubungimu dulu. Keadaan disini lagi genting. Dua orang temanku menghilang dan aku beserta rekan lainnya harus naik gunung malam ini untuk mencari mereka."
Sesaat setelah Mas Beni mengatakan itu aku jadi berdebar......
***
Kisah LDR Emi
Sama sekali aku tak ada bayangan bakal menikah dengan tentara, bakal tinggal di asrama, bakal ditinggal tugas terus menerus.
Baru tiga minggu aku menikah, suamiku berangkatlah tugas selama setahun di Ambon.
Aku dan suamiku itu dijodohkan karena adat dikeluarga. Aku dan suami masih saudara jauh.
Minggu pertama ditinggal tugas masih belum terbiasa buatku. Ingin rasanya pulang ke rumah orangtuaku tapi ada peraturan saat itu kalau istri yang ditinggal tugas tetap harus mendiami asrama.
Tiap dua hari sekali suami meneleponku bertanya kabar. Tak banyak yang kami obrolkan karena memang aku dan dia masih terasa asing satu sama lain. Dia mengenalku dan sebaliknya setelah acara lamaran berlangsung.
Di asrama, meski tanpa suami, aku tetap harus mengikuti kegiatan disana. Sore itu aku berpartisipasi dalam pertandingan volley di lapangan asrama, meski grup ku kalah, tak kuambil pusing, namanya juga pertandingan. Aku beristirahat sambil mimum sebotol air mineral. Tiba-tiba seseorang duduk di dekatku.
"Emi, lama ya nggal jumpa," ujarnya. Aku menoleh, cukup terkejut ternyata dia Imran, teman satu sekolahku dulu, dia pun ternyata berada di asrama yang sama denganku dan dia tinggal di barak bujangan. Kami pun mengobrol cukup lama, aku merasa terhibur akhirnya ada juga orang yang ku kenal dekat di asrama yang masih terasa asing bagiku itu. Imran meminta nomer handphone-ku dan kami pun jadi akrab di hari-hari berikutnya. Sudah banyak berubah dari Imran yang ku kenal dulu, dia tampak lebih tampan dengan seragam tentaranya.
Aku merasa Imran lebih perhatian kepadaku, bahkan saat ulang tahunku kemarin, dia mengucapkan dan membelikanku baju sebagai kado. Sesaat aku jadi melupakan suamiku. Terlebih, saat sekolah dulu aku ada rasa dengannya namun bapak selalu melarangku untuk pacaran.
Aku jadi kesal pada suamiku sendiri, ia tak membelikanku kado bahkan tak memberi ucapan selamat padaku, dan ittu membuatku jadi malas mengangkat telepon darinya.
Tanpa kusadari aku membuat kesalahan....
SELENGKAPNYA DI BUKU KISAH LEMBAH HIJAU 3

KISAH LEMBAH HIJAU 3 (068-069)

Diangkat dari Kisah Nyata...
Cerpen : 068-069
Buku : Kisah Lembah Hijau 3

Sinopsis :
Tahun 2010 lalu, saya dari Kutacane-Aceh Tenggara, berangkat mendaftar Secata TNI-AD di Kodam Iskandar Muda. Disinilah aku pertama kali bertemu Jamal, saat kami sama-sama tes, dia ikut mendaftar juga. Jamal berasal dari sebuah daerah bernama Marpunge Telengat, Kabupaten Belang Kejeren. Daerah tempat tinggal Jamal bisa dibilang tetanggaan dengan daerah asal saya, Kutacane. Disinilah saya dan dia mulai akrab, karena daerah saya dan Jamal searah kami pun berangkat tes bareng, kemana-manapun bersama selama mengurus keperluan tes dan menjalani tes masuk tentara setahap demi setahap. Selayaknya kawan akrab, kami merasa senasib dalam perjuangan mewujudkan cita-cita kami yaitu lulus tes dan jadi seorang tentara. Singkat cerita, begitu tahap akhir, pengumuman dan kami berdua akhirnya lulus. Ini saat menggembirakan karena kesenangan yang dirasakan bersama, bahagianya akan terasa berlipat-lipat.
***
Malam itu saya dan Jamal sama-sama berjanji tidak akan lari walau sesakit apapun, sesengsara apapun. Lebih baik kami mati daripada kami lari.
SELENGKAPNYA DI BUKU KISAH LEMBAH HIJAU 3

KISAH LEMBAH HIJAU 2 (Hutan Hera Timor-Timur)

Cerpen : Hutan Hera Timor-Timur (KISAH NYATA)
Buku : KISAH LEMBAH HIJAU 2
Penulis : Bunga Rosania Indah
7 November 1976. Beberapa teman mengeluh jika makanan di pos ini kurang memadai, beberapa bulan belakangan ini tak pernah makan daging, menu makanan benar-benar minim. Koptu Darpani meminta ijin pada Danton (Komandan Pleton) untuk patroli bersamaku dan Kopda Gunanto, serta meminta ijin untuk berburu kijang atau kambing hutan untuk persediaan makanan pasukan di pos. Seijin Danton akhirnya kami berangkat dengan seragam PDL lengkap, sangkur, senter, Senjata SP-1, Magazen peluru dan paples (wadah air minum). Aku sempat merapikan baret hitam yang ku kenakan, baret dengan simbol tank dan tapal kuda dengan dasar warna kuning dan merah.
Secara beriringan kami mulai mendaki gunung, dan masuk ke hutan Hera. Hutan Hera sama seperti hutan pada umumnya, memiliki banyak pohon yang rindang. Aku berjalan bergantian pada posisi depan, mata kami mengawasi tiap jalan di depan, bersiap jika hewan perburuan muncul. Namun sayang, baik rusa ataupun kambing tak nampak batang hidungnya. Aku merasa ada yang aneh pada hutan ini...
BUKU KISAH LEMBAH HIJAU 2
Pemesanan langsung ke:
Penerbit Harfeey Yogyakarta
ketik : judul buku_jumlah order_alamat sms ke : 081904162092

BATALYON ABSTRAK 2

AUDY SI MANTARA
Penulis : Bunga Rosania Indah
Apa sih Mantara? Duh! Jangan katrok-katrok banget, Mantara itu singkatan dari Maniak Tentara, kayak Si Audy. Gadis 20 tahun yang sudah menghabiskan kurang lebih dua tahun hidupnya sebagi mahasiswi di Universitas Mercubuana.
Siang itu Audy bersungut-sungut kesal, sambil melepas helm pink dengan hiasan cartoon tazmania ia komat-kamit, ngoceh sendiri.
"Gue harus dapatin pacar tentara, malu dong sama kucing. Kakek gue, kakek buyut gue, paman gue tentara, masa gue nggak bisa dapetin tentara sih! Hmm, meski bapak gue bukan tentara sih tapi peternak ayam."
Tok. Tok. Tok.
"Assalamu alaikooom!" Teriak Audy setelah mengetuk pintu kamar kost Kalia, sahabat satu-satunya Audy sekaligus merangkap sebagai provokator yang selalu manas-manasin Audy sama Ineke, saingan keren-keranan Audy di kampus.
Pintu di buka, belum dipersilahkan Audy sudah masuk dan rebahan di ranjang Kalia.
"Napa loe bencong?! Tereak-tereak di kost'an orang!"
Audy terlentang, "Moncos! Ineke ganti pacar lagi, Kal!"
Kalia duduk, serius banget dengerin Audy, "Wah, siapa lagi pacarnya, Au? Lha yang anak Kodam udah di cut?"
Audy lemas, "Putus asa gue, Kal. Gue aja belum dapet-dapet pacar tentara, dia udah bolak-balik pudaru (pudaru : putus dapat yang baru)."
"Trus anak mana pacar baru dia?"
Audy guling-guling di tempat tidur, "Tuhaaaan! Gue kan lebih manis dari Ineke, kan! Kok gue tetap dibetah-betahin ngejomblo, hiks!"
Kalia melempar bantal ke muka Audy, "Hei dodol! Gue dari tadi nanya, anak mana tuh pacar barunya Ineke."
Audy spontan menghempas bantal yang dilempar Kalia, "Dah busyet, nih bantal bau iler semua!"
"Hehehe," Kalia nyengir.
Audy bangkit dan duduk, "Pacar baru ineke anak Kopassus. Tragis kan?"
Kalia sontak bengong, "Iya Au, tragis, tragis banget kekalahan loe."
Audy termehek-mehek, "loe ngomong kalahnya kok dramatis banget, Cong!"
Kalia terbahak, "Loe sih orangnya milih-milih, kandidat-kandidat tentara yang gue tuwarin ke elu, eh, elu tolak semua."
Audy mentowel jidat Kalia, "Gila loe, kandidat loe nggak ada yang beres. Masa loe nyomblangin gue ame Kopral Kasino en Sersan Dolok. Loe tau sendiri kan tuh dua orang udah dikasi warning BERBAHAYA!"
Kalia menggeleng, "Suweerr gue nggak tahu."
"Heh?" Audy mendelik, "Loe belum pernah baca buku Kopral Kasino?"
Kalia menggeleng lagi.
Audy tepok jidat, "Aduh, parah banget loe! Gue berani jamin ye, kalo sampe mati loe belum baca tuh buku, loe mati bakal jadi setan penasaran deh,"
Kalia kembali melempar Audy bantal. Singkat kata singkat cerita akhirnya Kalia menyusun strategi PDKT buat Audy.
seminggu berlalu.
"Ngapain sih kudu bawa teropong segala, Kal? kita tuh mau nyari tentara kece, bukan neropongin langit en nyari alien!"
"Banyak cincong kamu Au! loe pasti seneng deh kita mau kemana."
"Kemana emangnya Kal?"
"Kolam renang bo! tiap hari kamis banyak tentara yang lagi renang di kolam renang kodam. pelatih renangnya kan Om gue, Au."
"Wah, masa kita ngintipin tentara lagi renang Kal? Jijay ah, ntar dikira kita maniak!"
"Niat nggak sih loe Au, gue dah capek-capek nih minjem teropongnya anak tekhnik sipil!"
"Yaaah, gue hargain deh usaha loe Kal."
"Begini nih Au, kita teropngin dulu dari jauh, amatin yang body'nya paling oke, wajah oke, nggak malu-maluin di bawa kondangan! yang terpenting nih, kita ngamatin itu-nya, kan mumpung pake celana renang doang so keliatan 80% seluruh body."
Audy mendelik jijay ke Kalia, "Itu-nya apaan?"
"Itu-tuh, tahi lalat di punggung. katanya, cowok yang punya tahi lalat di punggung tipe romantis en royal ma cewek."
Audy bernapas lega, "Oh, itu. kirain apaan!"
Kalia memonyongkan mulutnya, "Ah loe jorok pasti mikirnya. udah yuk cabut ke kolam renang!"
Dikolam renang...
dari kejauhan Audy dan Kalia sudah memilih tempat yang pas buat profesi barunya yaitu mata-mata. satu jam sudah khusuk dengan teropong hasil minjem.
"Gila, Au, body-nya bo!" ujar Kalia dengan mata satu tertutup dan mata sebelahnya membelalak di lensa teropong.
"Kenapa Kal? body-nya oke ya? sini dong, bagi, gue juga mau neropong."
Kalia geleng-geleng, "Bukan Au, tapi body-nya bo' panuan tuh! wah pasti jarang ganti kaos dalem tuh!"
Audy mendorong Kalia hingga oleng, "Ah, loe. sini! pinjem dong teropongnya!"
cukup lama akhinya Kalia meminjamkan teropong pada Audy. Audy girang setengah mati, "Asiiiik cuci mata!" dan saat Audy mulai meneropong, ia bengong melompong, "Lho Kal mana tentara-tentaranya, kok gue nggak lihat, ye?"
Kalia ketawa, "Udah pada cabut 10 menit yang lalu."
Audy manyun, "Dasar loe Kal! gue kebagian apaan!"
Audy sebel bener ama Kalia, ngambel seakar-akarnya, ia berjalan ninggalin Kalia, berjalan ke tepi kolam renang.
sementara itu seorang tentara bernama Dodo pucat pasi ditinggal yang lainnya apalagi tragedi yang menimpanya buat dia nggak berani naik ke tepi kolam. tragedi? iya tragedi, si Dodod pake celana renang yang karetnya dah molor, en begitu ia nyemplung, eh tuh kolor terlepas, melayang-melayang di permkaan air. dan amat shock sampe nggak bisa ngomong saat dia lihat Audy berjalan ke kolam renang, tanpa aba-aba sempritan pelatih, dia langsung nyelem nahan napas, sambil ngedumel "Sompret tuh cewek kagak pergi-pergi dari kolam renang!"
Audy duduk di pinggiran kolam, tiba-tiba matanya membelalak, terperangah melihat celana renang abu-abu pucat ngambang dipermukaan kolam yang dikiranya UBUR-UBUR,  ia melotot, "Busyet, di kolam renang kok ada ubur-ubur???" celana renang abu-abu itu semakin mendekat ke kakinya yang ditenggelamkan sebagian di air, Audy semakin panik dan berdiri sambil berteriak, "TOLOOOOONGGG! ADA UBUR-UBUR!"
SELENGKAPNYA DI BUKU BATALYON ABSTRAK 2

BATALYON ABSTRAK 2 (Peti Mati)

Cerpen : Peti Mati
Penulis : Bunga Rosania Indah
Model : Erni
Keponakanku lari tergopoh-gopoh menghampiriku yang berada di dalam rumah.
"Tante-tante, ada orang berantem diluar," ujarnya dan tentu saja membuatku panik.
"Fika jangan keluar! Ayo masuk!" Aku menarik Fika, keponakanku yang sedang liburan sekolah di rumahku yang baru. Suamiku menempati jabatan baru yaitu sebagai Danramil di sebuah koramil di daerah terpencil dan susah terjangkau transportasi. Aku mengajak Fika masuk lalu segera mengunci pintu rumah.
Kulihat Fika gemetar, namum sebenarnya aku pun gemetar, beberapa kali aku mengintip dari jendela. Kulihat satu orang lelaki mengamuk sambil membawa golok, lalu membacok beberapa orang, namun yang dibacoknya itu masih sanggup lari.
Seketika jantungku berdetak cepat saat lelaki yang mengamuk itu melihat kearahku, spontan tanganku menutup gorden meski jendela sudah kukunci sejak tadi.
Duh, om-om di Pos pada kemana sih kok nggak melerai mereka. Oh, iya, aku teringat. Sebagian besar mereka termasuk suamiku sedang turun bukit melerai pertikaian antar suku yang terjadi sedangkan di Koramil hanya ada dua tentara piket.
"Tante," panggil Fika. Aku menoleh. "Tante, kok diluar banyak orang berteriak." Aku tak menjawab Fika, aku sendiri pun takut. Aku takut jika laki-laki itu mendobrak pintu, masuk dan membacok kami juga. Aku masuk kamar Rozi dan kuajak Fika juga, Rozi anakku yang baru berusia 5 tahun itu masih tertidur lelap.
Tok. Tok. Tok.
"Tante, ada yang ngetok-ngetok pintu," ucap Fika. Secepat kilat aku berpikir, kalau orang emosi tak mungkin akan mengetuk pintu, hmm, mungkin itu tentara piket.
"Fika, kamu tetap berada dikamar ya sama Rozi." Fika mengangguk. Dan Rozi mulai bangun, mengucek-ngucek mata.
"Ma!" Panggil Rozi.
Aku menaikkan telunjukku ke bibir, "Sstt! Diam. Nanti mama kemari lagi."
Fika mendekati Rozi dan merangkulnya agar tak takut.
Meski ragu, aku terus melangkah ke pintu. Sejujurnya aku takut, takut kalau orang kalap tadi yang berada dibalik pintu. Masih teringat jelas sorot matanya yang bengis saat aku mengintip di jendela tadi.
"Si-si-a-pa?" Tanyaku terbata.
"Saya Bu, Pak Tri."
Lega rasanya dan segera kubuka pintu.
"Pak Tri dari mana saja tadi? Apa nggak tahu ada orang bertikai di jalan?"
"Enggak, Bu. Tadi saya keluar sebentar mengantar pulang Pak Tatang, darah tingginya kumat, Bu. Katanya kepalnya pusing hebat dan serasa mau pingsan, jadi saya antar saja dia pulang."
Aku ikut cemas atas keadaan Pak Tatang, "Astaga. Trus hari ini Pak Tri piket sendirian?"
"Iya, Bu. Nggak apa-apa. Hmm, hanya saja saya mau tanya, kok di depan jalan ada mayat tergeletak."
Aku sontak kaget, "Dimana Pak?"
Akhirnya aku dan Pak Tri berjalan kedepan. Aku kembali terkejut saat kutahu mayat siapa itu, dia adalah orang bengis yang membacok orang-orang tadi. Namun kini malah dia yang mati. Ada beberapa luka bacok di kepala, leher, dada dan tangannya.
Aku menceritakan kesimpulanku pada Pak Tri, kemungkinan setelah mengamuk dan membacok orang, korbannya lari meminta bantuan dan balas membacok si pelaku.
"Bagaimana ini Pak?" Tanyaku gugup. "Hmm, mana di koramil nggak ada orang. Pada turun bukit semua dan baru kembali besok."
Pak Tri berjalan cepat menuju pos, "Saya telepon kepolisian saja Bu, dan minta ambulans datang kemari." Tak lama Pak Tri muncul lagi, dan berujar, "Bu, ambulans baru bisa datang besok pagi, katanya mereka siaga pada korban kerusuhan yang semakin bergelimpangan."
Aku mendelik, "Lalu mayat ini sementara digimanain? Masa dibiarin berada dijalan kayak gini, Pak?"
Pak Tri terlihat bingung. Aku jadi teringat ada sebuah peti yang tergelatak di belakang rumah jabatan.
"Hmm, begini saja deh, Pak. Itu kab dibelakang ada peti barang, mayatnya kita tarok saja di peti itu sementara sampai besok ambulans datang."
Pak Tri menelan ludah, air mukanya agak beda, "Itu peti... Peti... Peti milik Pak Jumari, Bu."
"Oh, milik Danramil sebelumnya? Trus masak mayatnya dibiarin kelihatan begini, nanti anak sama keponakan saya takut."
"Tapi, Bu, peti itu... Hmm..."
Aku tak tahu apa maksud Pak Tri dan ekspresinya yang cemas itu namun akhirnya ia mengikuti saranku, memasukkan mayat itu sementara ke dalam peti sampai ambulans datang dan membawanya.
Berdua bersama Pak Tri kugotong mayat itu masuk ke dalam peti. Sudah kubulatkan tekad meski darah amis mayat itu kurasakan menempel pada telapak tanganku, daripada Rozi maupun Fika melihat mayat itu tergelatak akan membuat mereka takut. Mending ku masukkan saja ke peti.
"Sudah beres!" akhirnya peti berisi mayat tanpa identitas itu sudah ditarok di depan halaman koramil, tinggal menunggu ambulans besok pagi, kuharap bisa datang lebih cepat.
Pak Tri kembali ke Pos dan aku masuk ke dalam rumah yang bersebelahan tepat di samping pos koramil.
Aku segera masuk rumah, mencuci tangan dari noda darah.
Sekilas bayangan wajah mayat itu terbesit diingatan, rasanya bulu kuduk meremang.
Aku mengambil sabun dan melumurinya di tanganku, kubasuh dengan air sebanyak-banyaknya. Namun tiba-tiba bulu kudukku meremang, aku merasa ada yang berdiri dibelakangku. Aku reflek berbalik dengan menahan napas.
"Fika? Kamu dari tadi berdiri dibelakang tante, ya?"
Fika menggeleng, "Baru saja kok, tante. Anu... Itu." Fika menunjuk ke arah pundakku. Aku bingung, lalu kutolehkan kepalaku, mataku membelalak, terkejut dengan sebuah darah yang membentuk gambar telapak tangan.
"Itu gambar tangannya siapa, tante?"
Aku menelan ludah, kuingat-ingat lagi kejadian saat mengangkat mayat tadi, aku tak merasa tanganku menyentuh pundak, apalagi tangan Pak Tri, pasti bukan dialah. Lalu bekas telapak tangan siapa ini???
SELENGKAPNYA DI BUKU BATALYON ABSTRAK 2

BATALYON ABSTRAK 2 (Terjebak Sandiwara)

Cerpen : Terjebak Sandiwara
Penulis : Bunga Rosania Indah
Buku : Batalyon Abstrak 2
Harga : Rp. 60.000,-
320 Halaman
Model : Lukman & Nike

 Dinar melempar kopernya diatas kasur, hawa amarah merasuki pikirannya.
Adnan sang suami nampak marah tapi ia nyaris sekuat tenaga menahan emosinya, "Kamu mau kemana Dinar?!" Teriaknya.
Dinar masih dengan gelap mata mengeluarkan semua isi lemarinya dan menumpahkannya di koper besarnya.
"Aku sudah tak tahan lagi hidup bersamu, kamu tahu! Aku seperti terpenjara disini. Tiap hari aku harus mengurus rumahmu dinasmu yang jelek ini, tiap hari aku harus menunduk pada istri-istri atasanmu di asrama ini karena kamu hanya berpangkat rendah! Aku menyesal menikah denganmu!"
Jantung Adnan seperti terhunus belati mendengar perkataan istrinya sendiri, tapi itu belum seberapa, sebelum Dinar mengucapkan "Aku juga ingin hidup kaya, banyak uang, dihormati. Seandainya saja dulu aku menolak lamaranmu dan memilih melanjutkan kuliah pasti aku sudah jadi wanita karir sekarang! Tapi sayangnya aku bodoh memilih menikah denganmu, aku hanya jadi ibu rumah tangga biasa, kamu tinggalkan aku dirumah bersama Aila, anakmu yang nakal itu, dan keponakan harammu itu!"
Adnan mencengkram lengan Dinar, "Jaga ucapanmu Dinar! Nanti anak-anak mendengar ucapanmu! Lagipula Aila itu juga anakmu kan, apa kamu mau lepas tanggung jawab, pergi dari rumah ini dan meninggalkan darah dagingmu sendiri?"
Dinar melepas kasar cengkraman Adnan, "Biarkan saja! Aku sudah muak tinggal dirumah ini, aku sudah muak dengan anak-anak itu!"
PLAK!
Tamparan Adnan melayang, Dinar semakin geram dan mempercepat tujuannya untuk pergi dari rumah. Adnan sebenarnya sungguh tak ingin menampar istrinya namun kali ini Dinar benar-benar keterlaluan.
**
Seorang wanita berusia 31 tahun dengan setelan jas abu-abu elegan dan rambut yang tersanggul rapi nan modern duduk bersandar pada kursi hitam membelakangi meja kantornya. Wanita itu menutup matanya yang lelah, menahan tangis.
Tok. Tok. Tok.
Mata wanita itu membuka, "Ya, masuk!"
Wanita berambut ikal berkacamata agak lebar masuk dan duduk di depan meja kerja.
"Kamu nggak apa-apa, Kinar?" Tanya tamu itu.
Wanita berusia 31 tahun bernama Kinar itu memaksakan senyumnya, ia memutar kursinya. "Tidak. Tidak apa-apa Yuke."
Yuke mendekatkan kursinya pada meja kerja Kinar. "Aku sungguh tak menyangka Erni mengkhianitimu. Tega-teganya dia melakukan ini!"
Kinar terdiam, ia pun tak menyangka, Erni asisten kepercayaannya mengkhianatinya, menusuknya dari belakang. Erni mencuri sketsa perencanaan lahan miliknya, akhirnya perusahaan yang dirintis Kinar kalah tender.
"Bagaimana ini Kinar? Apakah kita akan bangkrut?" Tanya Yuke, sahabat Kinar sejak memulai bisnis. Mereka berdua pemodal utama perusahaan Catur Elang Persada.
"Mungkin di bisnis lahan ini kita akan bangrut Yuke," ujar Kinar datar. Ekspresi Yuke seketika tak bersemangat. Kinar menangkapnya. "Tapi kamu tak usah khawatir, aku masih punya rencana cadangan."
"Apa itu Kinar?" Yuke nampak tak sabar, wajahnya mulai bersemangat.
"Kita tak betul-betul bangkrut Ke, sebelum tender ini dimulai, aku sudah mengalokasikan 43% modal kita pada sebuah hotel dan rumah sakit. Aku sengaja tak memberitahumu agar ini tetap menjadi rahasia. Sebenarnya aku sudah berfirasat akan terjadi hal buruk pada bisnis kita."
"Benarkah?" Yuke berbinar, "Insting bisnismu memang tak diragukan, itulah kenapa sejak dulu aku selalu mengikuti langkahmu." Yuke tersenyum lebar.
"Tapi..."
"Tapi apa Kinar?"
"Aku merasa nyawaku terancam, beberapa hari lalu ada yang menyelinap ke dalam rumahku tapi saat itu aku segera bersembunyi."
"Apa!! Kamu tahu siapa itu?"
"Sayangnya tidak."
"Apa mungkin Erni? Tapi apa motifnya mencelakaimu?"
"Yang menyelinap ke rumahku malam itu sosok laki-laki tinggi besar. Kurasa bukan Erni."
"Bisa saja dia orang suruhan Erni." Kalimat terakhir Yuke membuat hati Kinar berdebar.
"Ke, aku minta kamu mengelola Hotel dan rumah sakit itu. Untuk sementara aku akan bersembunyi sampai keadaan aman."
Dahi Yuke mengernyit, "Kamu mau bersembunyi dimana Kinar?"
Kinar diam, ia menarik nafas lalu menghelanya pelan, "Aku masih memikirkannya..."
**
3 hari kemudian...
"Suasana duka menyelimuti kediaman pengusaha sukses Kinari Asmaranti, almarhumah ditemukan tewas dikamar hotel bersama seorang pria. Kematiannya diduga karena racun yang dibubuhkan pada minuman yang diantarkan oleh seorang yang menyamar sebagai petugas hotel. Demikian laporan kami sampaikan. Saya Dea Amelia, Selamat malam." Host sebuah stasiun TV lokal yang sedari sore bertengger didepan rumah Kinar tak mau ketinggalan menyiarkan berita kematian Kinar.
Seorang wanita tua berusia sekitar 55 tahun keluar dari sebuah mobil, ia mengenakan kacamata hitam dan syal yang dikerudungkan dikepalanya.
Beberapa wartawan tampak terpukau dengan tamu yang datang kali ini. Mereka tahu bahwa wanita tua itu adalah tante dari Kinar, wanita yang sudah dianggap ibu oleh Kinar karena dialah yang membesarkan Kinar sedari kecil. Seketika para wartawan berbondong-bondong mengejar Riyanti, nama tante Kinar.
Seorang wartawan tiba-tiba nyeletuk, "Bu, apakah benar Ibu Kinari tewas dikamar hotel tanpa busana dengan seorang pria?"
Riyanti menoleh dengan kesal, "Maaf, nanti biar pengacara saja yang menjelaskan!" Riyanti menyegerakan langkahnya dan segera masuk ke dalam gerbang rumah Kinar. Beberapa wartawan nampak belum puas dengan berita yang mereka dapat.
**
Riyanti terpaku menatap jenazah keponakan yang ia sayangi. Air mata tak berhenti mengalir. Yuke mencoba menopang tubuh Riyanti, ia terdiam di samping jenazah itu.
"Yuke, kenapa bisa begini? Siapa orang yang tega-teganya membunuh keponakanku?" Riyanti lunglai lemas bersandar pada Yuke.
"Tante. Tante." Suara wanita dari balik pintu kamar.
Riyanti menoleh, ia sedikit ketakutan karena ia hafal betul itu suara Kinar.
Yuke menggandeng tangan Riyanti, "Jangan takut tante." Riyanti mendongakkan kepalanya pada Yuke, ia sedikit yakin setelah menatap wajah Yuke yang serius. Seorang wanita keluar dari sebuah ruangan. Mata Riyanti terbelalak, ia hampir jatuh lalu menahan napas, "Kinar??!"
Wanita yang dipanggil Kinar itu tersenyum untuk menenangkan hati Riyanti.
Riyanti seketika menoleh pada jenazah yang terbaring dalam peti mati itu, "Lalu... Siapa dia?"
Kinar menghampiri tantenya dan berbicara pelan, "Itu Radinar tante. Ya, aku rasa itu Dinar saudara kembarku, tante." Riyanti terkejut, lebih terkejut dari saat ia mengetahui Kinar masih hidup. "Tante, tolong rahasiakan hal ini. Aku yakin pembunuhan yang terjadi pada Dinar adalah salah sasaran. Sebenarnya pembunuh itu mau mengincar nyawaku."
Wanita paruh baya itu sontak kaget, "Benarkah?! Apa alasan seseorang akan membunuhmu, Kinar?"
Kinar menarik napas lalu menghembuskannya perlahan, "Aku masih menyeledikinya, tante," ujar Kinar sembari mengangkat bahu.
Yuke berpikir sambil mondar-mandir lalu menghentikan langkahnya. "Kinar, hmm, kalau begini, hmm, sebaiknya biarkan saja publik menyangka kamu telah mati, agar para pembunuh itu tidak mencarimu lagi. Setidaknya untuk sementara waktu kamu bisa selamat dan diam-diam kita mencari tahu apa yang tersembunyi dibalik peristiwa ini."
"Betul itu nak, tante pikir ini satu-satunya cara agar kamu bisa aman untuk sementara waktu," timpal Riyanti.
Hening sesaat, Kinar membuka sedikit pintu ruangan untuk memandang jenazah Dinar diruang sebelah. "Lalu bagaimana dengan Dinar tante? Dia juga punya kehidupan sendiri bukan? Apa kita tidak mengabari keluarganya kalau Dinar telah tiada?"
Riyanti menatap dalam pada Kinar, "Jangan! Rencana kita untuk menyelamatkanmu bisa gagal jika sampai ada yang tahu tentang kebenarannya. Sampai semua aman, kamu harus menggantikan posisi Dinar. Tempat teraman saat ini adalah kamu tinggal di rumah Dinar."
Kinar menahan napas, termenung, ‘Bagaimana ini? Aku tak mengenal bagaimana Dinar dan kehidupannya... Meski kami saudara kembar tapi kami sudah dipisahkan sejak bayi,’ ucap Kinar dalam hati.
Riyanti menyentuh bahu Kinar, "Kamu tak usah khawatir, Nak. Tante yang akan mengatur."
"Tapi tante..."
**
Kinar berdiri cukup lama di depan pintu sebuah rumah dinas yang cukup sederhana.
Rumah dinas Serka Adnan Ibrahim. Seribu keberanian sudah ia kumpulkan untuk mendatangi rumah itu namun sejuta keraguan dan ketakutan pun bersamanya. "Bagaimana ini Ya Tuhan..." Kinar menutup mata, "Dinar, maafkan aku... aku terpaksa memakai identitasmu... "
Kinar mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu, namun ia urungkan lagi, "Bagaimana ini, Ya Tuhan..."
Kinar menutup matanya, ia berkaca-kaca mengenang kematian Dinar yang tragis karenanya.
"Bunda... " Seorang bocah perempuan mendatanginya dari arah belakang. "Bunda datang lagi ke rumah ini?" Kata bocah perempuan itu riang. Kinar bisa merasakan kerinduan yang besar dimata gadis itu. Kinar bertanya-tanya dalam hati, ‘Apakah ini Aila, anak Dinar saudaraku. Lalu kenapa ia mengatakan seperti itu... Datang lagi ke rumah ini??? Apa maksudnya? Apakah memang sebelumnya Dinar pergi dari rumah?’ Banyak sekali pertanyaan yang muncul dikepala Kinar. Ia jadi teringat saat ditemukannya jenazah Dinar dikamar hotel itu, ia sedang bersama seorang pria, dan tanpa busana...
Kinar membungkukkan badannya, "Aila, sini sayang... Bunda rindu sama Aila makanya bunda pulang." Kinar mulai memainkan sandirawanya meski sejujurnya hatinya benar-benar tersentuh oleh pertemuannya dengan Aila. Kinar memeluk Aila, ia menitikan air mata, ‘Ya Tuhan, apakah aku harus memainkan peran ini. Seandainya aku jujur... Bagaimana perasaan Aila jika mengetahui ibunya sudah tiada, kenapa aku jadi tak tega, apalagi Dinar meninggal dalam keadaan seperti itu... Pasti akan membuat keluarganya kecewa dan terluka,’ gumam lirih Kinar dalam gejolak batinnya.
"Bunda rindu sama Aila?" Aila menatap wajah Kinar yang disangka ibunya, "Biasanya bunda selalu memarahi Aila," celoteh Aila lagi, bocah perempuan berusia lima tahun itu.
Kinar terdiam beberapa detik lalu senyum mengembang di wajahnya, "Maafkan bunda ya sayang..."
Aila merasa senang saat Kinar meminta maaf padanya.
Kinar menoleh pada seorang bocah laki-laki yang bersembunyi dibalik pintu. Ia mengira-ngira bahwa bocah laki-laki itu kemungkinan adalah Evan, anak adik Adnan. Sebelumnya Kinar telah diberitahu oleh Riyanti, tantenya, bahwa di rumah Dinar juga ada seorang anak lagi selain Aila, dia bernama Evan, anak dari adik Adnan. Adik Adnan meninggal setelah melahirkan Evan, sedangkan ayahnya tak tahu siapa, karena adik Adnan tak pernah membicarakan siapa ayah kandung Evan.
Evan terlihat bersembunyi melihat kedatangan Kinar, ia ketakutan, Kinar menyadarinya. Kinar tersenyum dan mengulurkan tangannya, "Evan, sini sayang..."
Bocah laki-laki berusia empat tahun itu tak bergeming, ia masih takut dengan kedatangan Kinar.
"Ada apa Evan? Sini..." Panggil Kinar lembut.
"Evan takut sama bunda, karena bunda selalu memukulinya," celoteh Aila.
‘Astaga, apakah Dinar berbuat seperti apa yang dikatakan Aila, ya ampun... Seperti apa sebenarnya Dinar?’ gumam Kinar.
"Tidak, bunda janji mulai hari ini akan lebih baik, dan sayang sama Aila dan Evan." Kinar tersenyum hangat, "Oh, ya, bunda ada hadiah buat Aila dan Evan," kata Kinar sembari mengeluarkan kotak musik bergambar princess untuk Aila dan Robot-robotan buat Evan. Evan lama kelamaan mulai mendekat pada Kinar meski masih takut-takut. Kinar memperhatikan Evan, memperhatikan cara berjalan Evan yang tak sempurna, ‘Astaga anak ini cacat kakinya,’ ucap Kinar dalam suara hatinya, matanya mulai berkaca-kaca, ‘Ya Tuhan anak sekecil ini...’
SELENGKAPNYA DI BUKU BATALYON ABSTRAK 2
pemesanan langsung ke :
Penerbit Harfeey Yogyakarta
ketik : judul buku_nama&alamat lengkap
sms ke : 081904162092