KETEGARAN
WANITA
“Banyak
orang yang mengatakan bahwa aku mandul, aku pun menyadari mungkin itu benar.
Hampir 10 tahun aku menikah dengan Mas Irwan, kami belum dikaruniai seorang
anak. Hingga di tahun ke sebelas, kami memutuskan untuk bercerai. Sejujurnya aku
masih mencintai Mas Irwan, tapi mantan mertuaku yang selalu merong-rong Mas
Irwan menikah lagi untuk mendapatkan keturunan, aku menyerah. Bisa saja Mas
Irwan memadu aku, tetapi ia yang seorang aparat dan terikat dinas, tidak
memungkinkan untuk memiliki istri lebih dari satu. Aku mengalah dan bercerai.
Tiga bulan setelah perceraian kami, Mas Irwan menikah lagi dengan wanita
pilihan orang tuanya. Kini usiaku sudah
30 tahun, ketika aku menikah dulu, usiaku baru menginjak 19 tahun. awalnya ku
frustasi, tapi aku harus nelanjutkan hidupku. Aku berusaha melupakanmu.” Tulis
Zarima dalam selembar kertas lalu memasukkannya dalam sebuah botol dan
membuangnya ke lautan luas.
Sudah
3 bulan Zarima bekerja di kedai makanan milik orang Chinese, karena ijazahnya
yang Cuma lulusan SMK Tata Boga, terlebih lagi usianya yang sudah memasuki
kepala tiga menyabebabkan Rima, panggilan akrab Zarima, kesulitan mendapatkan
pekerjaan lain. Akhirnya ia bekerja di kedai makanan yang lokasinya tak jauh
dari asrama tentara tempatnya dulu tinggal bersama Irwan, mantan suaminya.
Sebenarnya berat bagi Rima untuk bekerja di tempat yang lokasinya cukup
berdekatan dengan rumah mantan suaminya.
Matahari
sudah setinggi batas kepala, siang itu beberapa ibu-ibu berseragam persit
datang ke kedai, sebagian dari mereka
mengenal Rima. Ibu-ibu itu mulai berkasak-kusuk saat melihat Rima, Rima tak
peduli, ia tahu kebiasaan ibu-ibu asrama memang seperti itu. sampai salah satu
ibu yang berbadan gempal yang sangat Rima kenal bernama Bu Nandang berceletuk,
“Ya ampun Bu Irwan, eh Bu Rima, kok bisa jadi begini sekarang.” Kata-kata Bu
Nandang yang mengiba tapi nadanya mengejek. Rima hanya tersenyum datar, dalam
hati Rima berkata, “Ya Allah, kuatkanlah aku.”
“Iya
bu, kasihan ya. Tuhan memang maha adil, di kasih wajah cantik tapi nggak bisa
punya anak, mending wajah jelek tapi bisa punya anak,” Bu Pandu menimpali.
Semakin kecil hati Rima, ia tak mengerti apakah semua itu sindiran untuknya.
Selama ini Rima sudah kenyang memakan semua sindiran yang berhubungan dengan
anak atau tanpa anak, mungkin sakitnya sudah menumpuk. Rima mengelus dada, berharap
mereka segera mengalihkan pembicaraan itu.
“Kalian
ini kenapa sih, mulutnya jahat banget,” hardik Bu Agus, Rima mengenal Bu Agus
dengan baik.
“Nggak
apa-apa Bu Agus, biar saja, saya sudah terbiasa. Hmm, ibu-ibu mau pesan apa
ini, menunya enak-enak lho,” ujar Rima berusaha tegar.
“Bu,
ini mejanya kotor, tolong di lap ya!” kata salah satu pengunjung kedai.
Rima
dengan sigap bersiap, “Baik Bu.”
Rima
tak banyak bicara, ia hanya menunduk bergelut dengan lap dan meja yang kotor di
hadapannya. Ia tak berekspresi apapun, menyembunyikan rasa sedihnya, dia
mengenang saat dulu ia mengenakan seragam persit seperti mereka. Tak disangka,
Rima pun tak pernah membayangkan akan seperti ini akkhirnya, melap meja,
melayani tamu dengan kesabaran meski perasaannya teraniaya.
Mereka
semua tak mengerti perasaan Rima, mungkin karena mereka lupa bahwa masih ada
langit diatas langit. Tidak ada yang tahu nasib seseorang kedepannya, bisa saja
mereka punya anak perempuan atau cucu perempuan yang mungkin bernasib sama
denga Rima alamai, mereka lupa itu.
Sore
itu Rima pamit pada pemilik kedai yang biasa di panggil Cik Wen, untuk pulang.
Rima berdiri menunggu angkutan umum yang biasa lewat sore hari itu, tapi tak di
sangka Rima melihat mantan suaminya, dan...istri barunya, pengganti Rima.
Mereka sedang berjalan-jalan sore. Rima kebingungan, ia berlari dan bersembunyi
di balik pohon. Rasanya Rima belum siap jika mereka bertiga harus bertemu.
Melihat mereka, hati Rima terasa sesak, Rima jongkok dan menyembunyikan
wajahnya yang pilu, meski sudah berusaha melupakan tapi sungguh sulit, apalagi
belum setahun mereka bercerai, rasanya Irwan seperti mengkhianatinya, rasanya
sakit, sakit, sakit. “Ya Allah, apa yang harus kukatakan padamu, kau tahu
betapa sakitnya perasaanku ini, dulu aku yang selalu menemani Mas Irwan
berjalan-jalan sore, dulu aku yang ada di posisi itu.” Rima menarik nafas dalam-dalam,
mencoba menenangkan hatinya, ia kembali menengok apakah Irwan dan istrinya
telah berlalu. Mata Rima memperhatikan tangan Irwan dan istri barunya yang
bergandengan. “Ya Allah, aku pasrahkan hidupku padaMu, teguhkan hatiku bahwa
dia bukan jodohku, tampar perasaan lemahku ini.” Rima selalu berusaha utuk
menguatkan dirinya.
Keesokan
hari seperti biasa, Rima bangun untuk menunaikan sholat Subuh serta melanjutkan
kegiatan pagi lainnya. Ketika pertama bangun pagi, ia melirik bantal di
sebelahnya, tak ada siapa-siapa disana, Rima kini sendiri. Tak jauh berbeda
saat ia menyiapkan makanan di meja, sekarang ia harus makan sendiri, tak lagi
menyiapkan makan suaminya, tak lagi menghidangkan kopi panas di gelas khusus
untuk suaminya, tak lagi menyiapkan baju dinas suaminya. Semua itu tak lagi
terjadi. Tak menampik, kadang Rima merindukan itu semua. Bagaimanapun itu
aktivitas rutin selama 10 tahun menjadi istri Irwan, bukan hal yang mudah
membiasakan diri tak melakukan lagi semuanya itu. untuk membuang rasa sepi itu,
Rima lebih banya berzikir disetiap aktivitasnya, sedih itu pasti, namun satu
kenyataan adalah hidup itu tetap terus berjalan.
Sekitar
jam 8 pagi Rima sudah mulai bekerja di kedai makanan Cik Wen. Dimulai dari
mebereskan meja, menyiapkan bahan-bahan masakan dan lainnya. Cik Wen sendiri
sangat terbantu dengan adanya Rima, ia menyukai Rima karena ketekunannya dan
kreativitasnya menginovasi masakan. Sebenarnya itu bukan hal yang sulit buat
Rima, karena ia memang pandai mengolah bahan masakan. Satu persatu pelanggan
kedai mulai berdatangan, Rima selalu tersenyum menyambut mereka. Sampai siang
kedai Cik Wen ramai, bahkan sejak Rima bekerja, kedai menjadi lebih ramai dari
sebelumnya. Siang itu Rima dikejutkan oleh tamu yang datang ke kedai, dia
Zarina, kakak kandung Rima. Rima kemudian menemui kakaknya setelah diijinkan
Cik Wen.
“Kak
Rina ada angin apa kemari?” tanya Rima senang, ia memegangi lengan sang kakak.
Zarina pun tersenyum lalu memeluk adiknya itu.
“Rima,
aku bersama temanmu kemari,” ujarr Rina.
“Siapa
kak?” tanya Rima penasaran.
“Rimaaaaa,”
teriak seorang wanita yang berlari kecil kemudian memeluk Rima.
“Puput?
Puput ya ampun, lama tidak bertemu.” Rima terharu bertemu kembali kawan lamanya
itu.
Mata
Puput berkaca-kaca, “Rima, maaf aku baru mengetahuinya, aku sangat sedih
mendengarmu sudah bercerai.” Mata Puput menatap prihatin, “Lalu kau sekarang
bekerja di sini?”
Rima
hanya tersenyum, agak dipaksakan.
“Rima,
kalau kamu butuh bantuan apapun, aku siap membantumu.” Puput menggenggam tangan
Rima. Puput adalah sahabat Rima di SMK dulu, mereka berdua sangat akrab, bahkan
Puput tahu awal pacaran Rima dan Irwan.
“Put,
bukannya kamu di Bengkulu ikut tugas suamimu kesana?” tanya Rima.
“Iya,
tapi minggu lalu aku pindah ke sini. Kebetulan kemarin aku ketemu kak Rina di
Bank, pas aku mau nabung. Lalu kutanya kabarmu pada Kak Rina.”
“Iya
Rima, kemarin aku tak sengaa ketemu Puput. Dan aku janjian hari ini untuk
sekalian menjengukmu, mumpung ini hari sabtu, Bank buka setengah hari,” ujar
Rina yang seorang Teller di sebuah Bank.
“Rima,
Kak Rina sudah cerita semuanya tentangmu dan Irwan. Aku minta maaf ya Rima jika
kata-kataku ini mungkin menyinggungmu tapi Mas Irwan kok tega sekali membiarkan
perceraian kalian. Ya Allah...Rima, kuingat dulu saat Mas Irwan PDKT sama kamu,
saat itu dia masih pendidikan Secaba, dia bela-belain nemuin kamu untuk
mengatakan dia cinta sama kamu, padahal saat itu dia belum diperbolehkan
weekend. Aku jadi ingat saat Mas Irwan mengirimkan rangkaian bunga ke sekolah,
sampai-sampai kamu disorakin teman-teman,” kenang Puput.
“Sudah
Put, jangan di teruskan.”
“Maafkan
aku Rima, aku sangat minta maaf tapi aku tidak terima kamu, sahabatku, dan sekarang
diperlakukan seperti ini,” kata Puput geram.
“Iya
Rima, aku sedih dek melihatmu seperti ini sekarang, tadi aku melihatmu mencuci
piring membersihkan meja dek, seandainya dulu kamu mau untuk kuliah, setidaknya
jika kamu punya gelar sarjana seperti aku, kamu bisa mendapatkan kerja yg lebih
baik. Dulu Irwan segera melamarmu sesaat setelah kamu lulus SMK, padahal aku
sudah menyarankanmu kuliah dan kerja dulu sebelum menikah.” Rima menatap iba
adiknya, Rima tak berkata apapun, dia berusaha sabar dan tersenyum. Rima tahu,
kakaknya maupun sahabatnya berkata demikian karena mereka berdua sayang sama
Zarima.
“Rima
aku juga minta maaf padamu, sewaktu dulu kita masih kecil sejujurnya aku selalu
iri padamu, kamu cantik, ibu dan bapak selalu membanggakanmu karena kamu selalu
juara kelas, aku selalu di nomer duakan, apalagi saat kamu remaja, banyak
sekali yang mendekatimu sampai akhirnya kau menikah lebih dulu dan melangkahiku
Rima, ya Allah, Rima adekku, kemana kamu yang dulu, jika tahu hidupmu seperti
ini sekarang.” Rina sedih melihat nasib adiknya kini, air mata Rina menetes. Rima
masih tersenyum lalu mengusap air mata kakaknya.
“Kak
Rina tidak boleh begitu. Ini semua takdir Allah kak, yang aku butuhkan dari kak
Rina dan Puput, hmm, tolong doakan aku, cukup itu saja. Yang lalu biarlah
berlalu.” Rima berusaha menepis kesedihan kakaknya. Puput dan Rina menunduk mendengar
perkataan Rima.
Sore
itu Rima pulang dari kedai seperti biasanya, saat akan menunggu angkutan,
tiba-tiba sebuah motor berhenti di sebelah Rima.
“Dek
Rima mau pulang? yuk mas anterin,” kata Romi, Rima mengenal laki laki ini, dia
satu letting sama Irwan, bukannya Rima ge-er tetapi Rima tahu gelagat Romi yang
berusaha mendekati Rima dua bulan ini. Tiap saat Romi datang sekedar makan di
kedai dan kadang berpura-pura kebetulan lewat saat sorenya, berusaha mendekati
Rima dengan menawarkan tumpangan pulang. Tetapi yang membuat Rima tak simpatik
dan cenderung sebal pada Romi karena ia sudah beristri, Rima kenal dengan istri
Romi, apalagi istri Romi baru saja melahirkan. Rima berpikir tega-teganya
laki-laki ini mendholimi istrinya yang baru saja berjuang melahirkan darah
dagingnya sendiri.
“Maaf
Mas Romi saya naik angkot saja,” tolak Rima.
“Ayolah
dek Rima, kebetulan kita searah kok,” ajak Romi tak menyerah.
“Maaf
sekali lagi Mas Romi, kalau mau duluan silahkan saja, saya tidak enak jika Mas
Romi berlama-lama sama saya disini, nanti ada prasangka orang.” Rima memandang
kearah jalan raya berharap ada angkutan yang segera bisa membawanya jauh dari
Romi.
“Ah
kamu alasan saja, ayolah Rima, jangan jual mahal.” Kali ini kata-kata Romi kelewat
batas dan membuat Rima tersontak kaget.
“MasyaAllah
mas, saya bukan wanita seperti itu, Astagfirullah..” Rima masih schock dengan
kata-kata melecehkan Romi.
“Lho
Bu Rima sama Pak Romi ngapain berduaan disini?” kata seorang ibu yang kebetulan
lewat, dia Bu Musa, sang biang Ghosip di asrama. “Hmm, ada gelagat tidak baik
ini,” lanjut Bu Musa lagi.
Rima
segera menyetop angkutan dan segera bergegas naik angkutan. “Maaf Bu Musa, Mas
Romi. Saya pamit duluan.” Rima dan segera berlalu.
Kesedihan
Rima tak berhenti hanya disitu, didalam angkutan dia bertemu dengan seorang
bapak, bernama Pak Mulyanto.
“Lho
ini Bu Irwan kan?”
Rima
tersenyum ramah tamah, “Iya pak, tapi panggil saja saya Bu Rima.” Lagi-lagi
nama Irwan tak lepas dari hidup Rima.
“Lho,
oh iya, maaf bu saya lupa kalau Bu Irwan eh Bu Rima sudah nggak sama Pak Irwan
lagi.”
“Iya
pak, nggak apa-apa.” jawab Rima singkat.
“Wah
bu saya ingat banget pas pertama kali Bu Rima sama pak Irwan di asrama ini,
mesra banget, kemana-mana Bu Rima selalu dianterin sama pak Irwan, duh bu eman-eman
banget kok pisah.”
Sebenarnya
kata-kata Mulyanto ini adalah hal umum tapi bagi Rima sama saja membuka luka
lama. Ia jadi mengenang, dulu pertama kali menyususri jalan ini bersama Irwan,
di bulan Desember, saat hujan mengguyur deras, Irwan menutupi kepala Rima
dengan jaketnya karena tak membawa payung. Rima menghela nafas, “Oh Tuhan,
semua cepat sekali berlalu,” ucap Rima lirih dalam hatinya.
Malam
hari setelah Rima pulang dari Masjid untuk sholat Isya, ia mampir ke pasar yang
tidak terlalu jauh dari rumah kontrakannya untuk membeli martabak telor. Ternyata
di situ ia bertemu Bu Andy, mantan ibu Dantonnya dulu.
“Selamat
malam ibu,” sapa Rima ramah.
“Eh,
Bu Rima kok bisa disini?” Bu Andy setengah terkejut melihat Rima.
“Iya
ibu, rumah kontrakan saya deket dari sini. Kalau ibu berkenan mampir ke rumah
Bu.” Rima menunjuk beberapa gang di depannya.
“Iya
Bu Rima terima kasih. Ini lho bu, anak saya Salsa dari sore nangis terus minta
martabak, mana saya lagi sibuk,” kata bu Andy sambil menarik pergelangan tangan
anaknya yang berumur 7 tahun itu, terlihat sekali wajah Bu Andy yang tengah
kesal pada sang anak. “Mbak Salsa cantik, kepengen martabak ya?” Kata Rima
ramah sambil mengusap rambut Salsa lembut.
“Ah,
ini anak nakal bu,” ujar Bu Andy, kemudian Bu Andy menceritakan tiap kenakalan
anaknya. Rima mendengarkan keluh kesah bu Andy dengan sabar, sesekali Rima
mengelus kembali rambut Salsa. Dalam hati, Rima merasa Bu Andy belum terbuka
mata bathinnya, dia tak sadar jika dia telah dikaruniai mutiara indah dari Allah,
yaitu seorang anak yang selama bertahun tahun menjadi harapan Rima tapi belum
rejeki Rima. Rima menganggap bu Andy kurang bersyukur. Rima berandai-andai, seandainya
dia yang di karuniai seorang anak, senakal apapun Rima tetap bersyukur. Karena
ia tahu betapa dukanya tanpa kehadiran buah hati dalam sebuah pernikahan,
seolah-olah semua mata memandangnya sebagai wanita yang tak utuh.
“Oh
iya Bu Rima, Pak Samsir-Danki yang lama sudah diganti lho?”
“Lho
knapa bu?”
“Iya,
Pak Samsir sakit stroke bu, penggantinya namanya Pak Surya, tapi pak Surya juga
kayaknya nggak lama di situ soalnya mau Selapa. Pak Surya ini masih muda lho
bu, mungkin sebaya Bu Rima, beliau punya satu anak perempuan.”
“Astagfirullah,
Pak Samsir kena stroke bu? Padahal Pak Samsir dan Bu Samsir orangnya baik
banget bu. Hmm, di ganti Pak Surya ya bu. Selapa? berarti lulusan Akmil ya bu?”
“Iya
bu Rima, anaknya Pak Surya lucu banget, kadang di ajak main sama Salsa ke
rumah.”
Sekitar
10 menit Bu Andy dan Rima bercakap-cakap, Rima pun pulang ke rumah kontrakannya.
Betapa kagetnya Rima setiba di depan rumah kontrakannya yang berukuran kecil
itu, telah menunggu seseorang di depan teras rumahnya.
“Mas
Irwan, ada perlu apa?” Rima menatap Irwan dengan heran.
“Dek
Rima, dari mana malam-malam begini baru pulang?” tanya Irwan.
“Saya
dari Masjid mas, sekalian beli martabak.”
“Beli
martabak? memangnya mau ada tamu ya malam-malam begini?” tanya Irwan curiga.
”Maaf
maksudnya apa ya mas?” tanya Rima bingung.
“Maaf
Dek Rima. Saya cuma ingin tahu kabar Dek Rima, makanya saya kesini.” Irwan
menatap lembut mantan istrinya itu.
Rima
melengos, ia tak ingin kembali jatuh terbawa suasana. “Alhamdulillah saya baik
mas.” Rima kembali menatap Irwan, “Kalau begitu Mas Irwan bisa pulang sekarang
ya mas, saya nggak enak kalau ada yang salah prasangka jika mas Irwan
malam-malam ke rumah saya,” kata Rima, Irwan terkejut mendengar perkataan Rima.
Rima mulai mengambil kunci rumah kontrakannya dari dalam tas mukena yang di
tentengnya dan segera membuka pintu.
“Tunggu
dulu dek, saya mau curhat sedikit, hmm, maaf dek saya belum sempat mengenalkan
Marliana, istriku,” ucap Irwan ragu. “Kenapa ya dek saya sering membandingkan
Marliana sama Dek Rima. Istriku, Marliana tidak bisa masak, masakannya nggak
enak, beda sama masakannya Dek Rima. Saat kegiatan persit, ia juga tidak bisa
apa-apa, tidak bisa Volly, tidak bisa bicara di depan umum, saya malu sekali. Semua
pekerjaan rumah tidak beres. Beda sekali saat Dek Rima yang menjadi istriku.”
Rasanya
Rima mau bilang sama Irwan bahwa meski Rima pintar masak, pandai ngurus rumah,
aktif persit, pandai Volly dan sebagainya tapi tetap saja Irwan memilih
Marliana hanya karena satu kekurangan Rima yang tidak bisa punya anak, jadi
untuk apa dia berkata semua ini ke Rima. Tapi Rima tidak mengatakan itu semua.
“Mas
Irwan tidak boleh berkata demikian, Mas Irwan harus tetap bersyukur pasti dia
memiliki kelebihan yang tidak kumiliki, maaf sekarang Mas Irwan pulang saja,”
usir Rima sopan.
“Dek
Rima kok begitu. Saya kangen sama dek Rima,” ucap Irwan akhirnya, tangan Irwan
ingin menyentuh tangan Rima namun Rima segera menghempasnya.
“Maaf
mas.” Rima pun pergi meninggalkan Irwan, masuk ke dalam rumah kontrakannya dan
mengunci pintu. Di balik pintu itu Rima bersandar sambil menangis, hatinya
seperti teriris dengan harapan yang di tunjukkan Irwan. “Ya Allah kuatkan hati
hamba.” Cukup lama ia bersandar di pintu itu.
Keesokan
paginya Rima mulai bekerja seperti biasa.
“Bu
Rima itu ada yang cari di depan.” Cik Wen menunjuk,
Rima
pun menengok siapa yang mencarinya. Ternyata disitu ada Bu Musa, Bu Pandu dan Bu
Romi.
“Maaf
ibu-ibu ada apa ya?” perasaan Rima tidak enak.
“Halah
kamu nggak usah berlagak.” kata bu Pandu.
“Iya,
Bu Rima udah ngaku saja.” Bu musa mulai menghakimi.
“Maaf
bu, saya tidak mengerti,” kata Rima.
“Maaf
bu Rima, saya mohon jangan ganggu suami saya!” ucap Bu Romi.
“Lho
ibu-ibu ada apa ini ribut-ribut di depan kedai saya?” Cik Wen sengaja keluar
untuk menghentikan ibu-ibu itu menghakimi Rima.
“MasyaAllah
Bu Romi, saya bukan orang seperti itu bu.” Rima terkejut, hatinya pedih dengan
tuduhan-tuduhan ibu-ibu itu.
“Halah
Bu Rima ini mengelak, saya melihat dengan mata kepala saya kemarin, Bu Rima
sama Pak Romi.” Bu Musa semakin menyulut keadaan.
“Mentang-mentang
janda,” ujar Bu Pandu sinis.
“Bu
Romi demi Allah saya tidak ada hubungan apa-apa sama pak Romi,” Rima berusaha
meyakinkan.
“Jangan
percaya, Bu Romi,” hasut Bu Musa.
“Bu
Romi tolong ya tanyakan saja sama suami anda, jika dia bilang iya, saya minta
buktinya, Bu Musa dan Bu Pandu saya bersumpah demi nama Allah saya bukan wanita
seperti itu, disini ada Cik Wen yang mendengarkan Bu Musa sudah menfitnah saya
dan mencemarkan nama baik saya, Bu Pandu juga menghasut Bu Romi, saya tidak
segan-segan melaporkan anda ke pihak yang berwajib atas pencemaran nama baik!”
Kata Rima tegas sembari menatap ketiga ibu di hadapannya itu. Setelah digertak
Rima, ketiga ibu itupun pergi dengan hati kesal.
“Bu
Rima nggak apa-apa?” tanya Cik Wen prihatin.
“Iya
Cik nggak apa-apa.” Rima memandangi ketiga ibu yang berlalu sudah cukup jauh
dari pandangannya, tak habis pikir, apa sebenarnya salah Rima pada mereka. Rima
berusaha dan lagi-lagi tetap sabar menerima ujian demi ujian hidupnya.
Tak
lama seorang kurir pos datang ke kedai itu.
“Maaf
bu, ini ada surat buat Ibu Zarima Aida.” Pak Pos menyerahkan sepucuk surat pada
Cik Wen, Cik Wen lalu menyerahkannya pada Rima. Rima membaca tulisan yang
tertera dibagian depan amplop. “Hotel Yogyakarta Residence.” Rima teringat
sebulan lalu dia ikut lomba membuat resep masakan, dan menggunakan alamat kedai
tempat ia bekerja.
“Terima
kasih ya Pak.” Rima mulai membuka isi amplop, mataya terbelalak, terkejut dan
girang, “Alhamdulillah,” ucap Rima senang. Ia diterima ikut tes percobaan untuk
menjadi seorang chef, waktunya 1 minggu lagi.
“Mamaaaaa...”
teriak seorang bocah perempuan dari seberang jalan.
Rima
terkejut karena bocah kecil itu tiba-tiba berlari menyebrang jalan bersamaan
dengan motor yang melaju kencang dari sisi kiri jalan.
“Awas!”
teriak Rima pada bocah perempuan itu, tapi gadis kecil itu sepertinya tak
mengerti perkataannya.
“Mamaaaa,”
teriak gadis kecil itu lagi, Rima berlari dan berusaha mencegah anak itu
menyebrang jalan. Akhirnya Rima berhasil mendorong anak itu tetapi sebaliknya
Rima yg tertabrak motor yang melaju kencang itu.
Satu
jam kemudian, Rima perlahan-lahan membuka matanya, ia masih bingung kenapa ia
ada di kamar rumah sakit, sekejap ia tersadar bahwa ia tadi sempat pingsan
karena tertabrak motor. Rima melirik bingung kenapa di sebelahnya duduk seorang
pria sedang memangku bocah perempuan.
“Mama..mama..”
kata gadis kecil itu lagi, Rima bingung kenapa anak perempuan ini memanggilnya
mama. Rima ingat anak ini, gadis kecil yang di tolongnya tadi. Rima berusaha bangun
dari posisi berbaringnya.
“Nak
kamu nggak apa-apa?” tanya Rima pada gadis kecil berusia sekitar 2 tahun itu.
“Anye
nggak apa-apa mbak,” jawab pria yang memangku bocah berkucir dua yang
ditolongnya. Pria itu menyambung kembali kalimatnya, “Saya minta maaf ya mbak, karena
telah menyelamatkan anak saya, mbak jadi terluka begini,” Ucap pria itu.
“Ibu
sudah sadar?” perawat masuk dan mengecek kondisi Rima. Dokter kemudian masuk
pula. “Untungnya ibu tidak cedera parah, ini luka ringan di tangan dan kaki,
mungkin karena shock, ibu jadi pingsan,” dokter menimpali. “Ini sudah saya
tuliskan resep, nanti bisa di bawa pulang.”
“Alhamdulillah
kalau mbak ini tidak kenapa-napa,” ekpresi lega tergambar di raut wajah pria
itu.
“Iya
dokter, terima kasih,” kata Rima.
“Ibu
boleh istirahat dulu disini, sampai kondisi ibu agak baikan, atau setidaknya
ibu sudah mampu untuk berjalan pulang,” saran dokter.
“Ini
bu resepnya, nanti biar suami ibu yang mengurus administrasi, ibu silahkan
istirahat dulu saja.” Perawat berbaju putih dengan list baju hijau tosca itu
memberikan secarik kertas resep obat.
“Maaf
sus, mas ini bukan suami saya,” ujar Rima sungkan.
“Oh
maaf bu,” kata perawat itu sebelum meninggalkan kamar perawatan Rima.
“Mama..mama...”
Gadis kecil itu kembali memanggilnya mama.
“Hai,
adek cantik namanya siapa?” tanya Rima sambil mengelus pipi dan rambut bocah
itu. Rima tersenyum hangat.
“A-Ane,”
celoteh sang bocah dengan aksen gaya khas anak seusianya.
“Namanya
Anye, Anyelir,” kata pria yang memangkunya. "Oh ya, saya Surya.” Pria itu
memperkenalkan diri.
“Saya
Zarima Aida, panggil saja Rima, mas.” Rima membalas uluran tangan Surya. “Maaf
Mas Surya, kenapa adek ini memanggil saya mama?”
“Maaf
Mbak Rima, sejujurnya saya juga tidak tahu.”
“Panggil
saja saya Rima, mas.”
“Iya
Rima.” Surya canggung, “Hmm, saya panggil Dek Rima saja.” Surya memperbaiki
posisi pangku Anyelir, putrinya. “Anye sejak lahir sudah ditinggal ibunya, istri
saya meninggal ketika melahirkan Anye,” kata Surya. Rima terdiam lalu kembali
tersenyum ke anak bernama Anyelir itu. Pikir Rima gadis kecil ini pasti merasa
kesepian seperti dirinya.
“Nak
Anye sini dipangku tante,” Rima mengulurkan tangannya.
“Mama,
bukan tante," ucap Anyelir.
“Mohon
maaf ya Dek Rima, anak saya pendiriannya agak keras.” Surya menjadi tak enak
pada Rima karena Anyelir selalu memanggil Rima, mama.
“Oh
iya, sini Anye.” Rima kemudian memangku Anyelir. Gadis kecil itu tertawa tawa
dipangkuan Rima.
“Dek
Rima kerja di kedai itu ya?” tanya Surya.
“Iya
mas,” jawab Rima singkat, Rima menikmati bermain bersama Anyelir.
“Oh
ya Dek Rima, ini HP Dek Rima, mungkin jatuh saat menolong Anye, HP Dek Rima
hancur terlindas motor.” Surya menyerahkan rongsokan HP milik Rima.
“Iya,
nggak apa-apa mas, yang penting Anye tidak kenapa-napa.” kata Rima. Surya
termangu mendengar ucap Rima yang mengkuatirkan putrinya.
Dua
hari ini Rima tak masuk kerja, Cik Wen mengerti keadaan Rima dan mengijinkannya
untuk istirahat beberapa hari. Tangan Rima masih terasa sakit, sedari pagi
hingga sore Rima hanya beristirahat di kamar, sesekali ia bangun untuk
menunaikan sholat ataupun makan untuk mengganjal perutnya.
Tok
Tok Tok. Rima mendengar seseorang membuka pintu, dengan susah payah ia bangkit
dari ranjangnya dan melangkah ke depan untuk membuka pintu. Beberapa saat
setelah Rima membuka pintu. “Mamaaa....Mamaaa...” ternyata Anye dan Surya.
“Anye,”
kata Rima heran, Anyelir berlari memeluk Rima, Rima pun balas memeluknya.
“Sore
Dek Rima, bagaimana keadaan Dek Rima?" tanya Surya sembari tersenyum.
“Alhamdulillah
baik mas, Anye bagamana kabarnya sayang?” tanya Rima pada Anyelir, entah
mengapa Rima jadi sangat menyayangi bocah kecil itu, sebenarnya dua hari ini
Rima kepikiran tentang mengapa Anye selalu memanggilnya mama, dan panggilan
Anye itu sangat ia rindukan selama ini.
“Baik,”
jawab Anyelir polos.
“Maaf
dek, ini ada sedikit buah,” kata Surya sambil membawa sekeranjang parsel buah.
“Nggak
usah repot-repot mas, Anye dateng kesini saya sudah senang.” Surya lagi-lagi
terenyuh dengan kata-kata Rima, bagaimanapun Rima baru mengenal Anye.
“Anye
mau makan apa?” tanya Rima.
“Naciii
oyeng,” Anyelir bermanja-manja di pelukan Rima. Surya memperhatikan mereka,
Surya lalu melihat tangan Rima yang masih memar, ia kemudian mengalihkan
Anyelir untuk duduk di kursi agar tak menyentuh tangan Rima yang masih sakit
jika Anye berlama-lama di pelukan Rima, ia kuatir pada Rima.
“Nasi
goreng? Okey, Anye cantik tunggu disini dulu ya.” Rima beriri.
“Nggak
usah repot-repot dek, duh maaf ini Anye ngerepotin terus jadinya,” kata Surya
sungkan.
Rima
tersenyum pada Surya, “Nggak mas, saya nggak merasa di repotkan.” Rima
melangkah ke dapur. Tujuh menit kemudian Rima keluar dari dapur dengan sepiring
nasi goreng buatannya untuk Anyelir. Gadis kecil itu tampak sangat senang, Anyelir
meminta Rima untuk menyuapinya. Rima sangat senang menyuapi Anye, sejujurnya
Rima rindu ingin suasana seperti ini, bisa menyuapi seorang anak.
“Dek
Rima di sini sendiri, kok tidak ada keluarga lain?” tanya Surya.
“Hmm,
Mas Surya mungkin heran. Tapi saya memang hidup sendiri mas, saya sudah
bercerai.”
“Anak?”
“Saya
tidak punya anak mas.”
“Oh
maaf ya dek, saya tidak bermaksud menyinggung.” kata Surya, Rima pun tersenyum
wajar.
“Mama
cuap lagi.” Anye meminta untuk disuapi Rima lagi. Rima menuruti apa yang
diminta Anye. Mata Rima selalu memandang segala tingkah Anye, ia bahagia
sekali, melihat semua apa yang di celotehkan Anye.
“Mama
mam juga,” kata Anye, kemudian Anye mengarahkan sendok ke arah Rima. “Mama cuap
Papa,” kata Anye, kali ini Rima bingung, tapi Anye mengarahkan sendok yang
dipegang Rima ke bibir Surya. Surya pun tampak bingung dan malu saat Rima
menyuapnya nasi goreng itu atas permintaan Anye.
Tiba-tiba
seseorang muncul dari pintu yang terbuka.
“Rima!”
kata Irwan spontan, Rima pun terkejut karena kedatangan Irwan yang tiba-tiba.
“Mas
Irwan?” Rima berdiri dari duduknya.
“Aku
dengar kamu baru saja kecelakaan?” tanya Irwan.
“Iya,
tapi alhamdulillah tidak apa-apa.” Rima kemudian melirik Surya, "Oh ya Mas
Surya ini kenalkan Mas Irwan, mantan suami saya.”
“Selamat
sore komandan,” sapa Irwan hormat.
“Komandan?”
Rima bingung.
SELENGKAPNYA DI BUKU KISAH LEMBAH HIJAU