Translate

Jumat, 19 Desember 2014

BATALYON ABSTRAK 2 (Terjebak Sandiwara)

Cerpen : Terjebak Sandiwara
Penulis : Bunga Rosania Indah
Buku : Batalyon Abstrak 2
Harga : Rp. 60.000,-
320 Halaman
Model : Lukman & Nike

 Dinar melempar kopernya diatas kasur, hawa amarah merasuki pikirannya.
Adnan sang suami nampak marah tapi ia nyaris sekuat tenaga menahan emosinya, "Kamu mau kemana Dinar?!" Teriaknya.
Dinar masih dengan gelap mata mengeluarkan semua isi lemarinya dan menumpahkannya di koper besarnya.
"Aku sudah tak tahan lagi hidup bersamu, kamu tahu! Aku seperti terpenjara disini. Tiap hari aku harus mengurus rumahmu dinasmu yang jelek ini, tiap hari aku harus menunduk pada istri-istri atasanmu di asrama ini karena kamu hanya berpangkat rendah! Aku menyesal menikah denganmu!"
Jantung Adnan seperti terhunus belati mendengar perkataan istrinya sendiri, tapi itu belum seberapa, sebelum Dinar mengucapkan "Aku juga ingin hidup kaya, banyak uang, dihormati. Seandainya saja dulu aku menolak lamaranmu dan memilih melanjutkan kuliah pasti aku sudah jadi wanita karir sekarang! Tapi sayangnya aku bodoh memilih menikah denganmu, aku hanya jadi ibu rumah tangga biasa, kamu tinggalkan aku dirumah bersama Aila, anakmu yang nakal itu, dan keponakan harammu itu!"
Adnan mencengkram lengan Dinar, "Jaga ucapanmu Dinar! Nanti anak-anak mendengar ucapanmu! Lagipula Aila itu juga anakmu kan, apa kamu mau lepas tanggung jawab, pergi dari rumah ini dan meninggalkan darah dagingmu sendiri?"
Dinar melepas kasar cengkraman Adnan, "Biarkan saja! Aku sudah muak tinggal dirumah ini, aku sudah muak dengan anak-anak itu!"
PLAK!
Tamparan Adnan melayang, Dinar semakin geram dan mempercepat tujuannya untuk pergi dari rumah. Adnan sebenarnya sungguh tak ingin menampar istrinya namun kali ini Dinar benar-benar keterlaluan.
**
Seorang wanita berusia 31 tahun dengan setelan jas abu-abu elegan dan rambut yang tersanggul rapi nan modern duduk bersandar pada kursi hitam membelakangi meja kantornya. Wanita itu menutup matanya yang lelah, menahan tangis.
Tok. Tok. Tok.
Mata wanita itu membuka, "Ya, masuk!"
Wanita berambut ikal berkacamata agak lebar masuk dan duduk di depan meja kerja.
"Kamu nggak apa-apa, Kinar?" Tanya tamu itu.
Wanita berusia 31 tahun bernama Kinar itu memaksakan senyumnya, ia memutar kursinya. "Tidak. Tidak apa-apa Yuke."
Yuke mendekatkan kursinya pada meja kerja Kinar. "Aku sungguh tak menyangka Erni mengkhianitimu. Tega-teganya dia melakukan ini!"
Kinar terdiam, ia pun tak menyangka, Erni asisten kepercayaannya mengkhianatinya, menusuknya dari belakang. Erni mencuri sketsa perencanaan lahan miliknya, akhirnya perusahaan yang dirintis Kinar kalah tender.
"Bagaimana ini Kinar? Apakah kita akan bangkrut?" Tanya Yuke, sahabat Kinar sejak memulai bisnis. Mereka berdua pemodal utama perusahaan Catur Elang Persada.
"Mungkin di bisnis lahan ini kita akan bangrut Yuke," ujar Kinar datar. Ekspresi Yuke seketika tak bersemangat. Kinar menangkapnya. "Tapi kamu tak usah khawatir, aku masih punya rencana cadangan."
"Apa itu Kinar?" Yuke nampak tak sabar, wajahnya mulai bersemangat.
"Kita tak betul-betul bangkrut Ke, sebelum tender ini dimulai, aku sudah mengalokasikan 43% modal kita pada sebuah hotel dan rumah sakit. Aku sengaja tak memberitahumu agar ini tetap menjadi rahasia. Sebenarnya aku sudah berfirasat akan terjadi hal buruk pada bisnis kita."
"Benarkah?" Yuke berbinar, "Insting bisnismu memang tak diragukan, itulah kenapa sejak dulu aku selalu mengikuti langkahmu." Yuke tersenyum lebar.
"Tapi..."
"Tapi apa Kinar?"
"Aku merasa nyawaku terancam, beberapa hari lalu ada yang menyelinap ke dalam rumahku tapi saat itu aku segera bersembunyi."
"Apa!! Kamu tahu siapa itu?"
"Sayangnya tidak."
"Apa mungkin Erni? Tapi apa motifnya mencelakaimu?"
"Yang menyelinap ke rumahku malam itu sosok laki-laki tinggi besar. Kurasa bukan Erni."
"Bisa saja dia orang suruhan Erni." Kalimat terakhir Yuke membuat hati Kinar berdebar.
"Ke, aku minta kamu mengelola Hotel dan rumah sakit itu. Untuk sementara aku akan bersembunyi sampai keadaan aman."
Dahi Yuke mengernyit, "Kamu mau bersembunyi dimana Kinar?"
Kinar diam, ia menarik nafas lalu menghelanya pelan, "Aku masih memikirkannya..."
**
3 hari kemudian...
"Suasana duka menyelimuti kediaman pengusaha sukses Kinari Asmaranti, almarhumah ditemukan tewas dikamar hotel bersama seorang pria. Kematiannya diduga karena racun yang dibubuhkan pada minuman yang diantarkan oleh seorang yang menyamar sebagai petugas hotel. Demikian laporan kami sampaikan. Saya Dea Amelia, Selamat malam." Host sebuah stasiun TV lokal yang sedari sore bertengger didepan rumah Kinar tak mau ketinggalan menyiarkan berita kematian Kinar.
Seorang wanita tua berusia sekitar 55 tahun keluar dari sebuah mobil, ia mengenakan kacamata hitam dan syal yang dikerudungkan dikepalanya.
Beberapa wartawan tampak terpukau dengan tamu yang datang kali ini. Mereka tahu bahwa wanita tua itu adalah tante dari Kinar, wanita yang sudah dianggap ibu oleh Kinar karena dialah yang membesarkan Kinar sedari kecil. Seketika para wartawan berbondong-bondong mengejar Riyanti, nama tante Kinar.
Seorang wartawan tiba-tiba nyeletuk, "Bu, apakah benar Ibu Kinari tewas dikamar hotel tanpa busana dengan seorang pria?"
Riyanti menoleh dengan kesal, "Maaf, nanti biar pengacara saja yang menjelaskan!" Riyanti menyegerakan langkahnya dan segera masuk ke dalam gerbang rumah Kinar. Beberapa wartawan nampak belum puas dengan berita yang mereka dapat.
**
Riyanti terpaku menatap jenazah keponakan yang ia sayangi. Air mata tak berhenti mengalir. Yuke mencoba menopang tubuh Riyanti, ia terdiam di samping jenazah itu.
"Yuke, kenapa bisa begini? Siapa orang yang tega-teganya membunuh keponakanku?" Riyanti lunglai lemas bersandar pada Yuke.
"Tante. Tante." Suara wanita dari balik pintu kamar.
Riyanti menoleh, ia sedikit ketakutan karena ia hafal betul itu suara Kinar.
Yuke menggandeng tangan Riyanti, "Jangan takut tante." Riyanti mendongakkan kepalanya pada Yuke, ia sedikit yakin setelah menatap wajah Yuke yang serius. Seorang wanita keluar dari sebuah ruangan. Mata Riyanti terbelalak, ia hampir jatuh lalu menahan napas, "Kinar??!"
Wanita yang dipanggil Kinar itu tersenyum untuk menenangkan hati Riyanti.
Riyanti seketika menoleh pada jenazah yang terbaring dalam peti mati itu, "Lalu... Siapa dia?"
Kinar menghampiri tantenya dan berbicara pelan, "Itu Radinar tante. Ya, aku rasa itu Dinar saudara kembarku, tante." Riyanti terkejut, lebih terkejut dari saat ia mengetahui Kinar masih hidup. "Tante, tolong rahasiakan hal ini. Aku yakin pembunuhan yang terjadi pada Dinar adalah salah sasaran. Sebenarnya pembunuh itu mau mengincar nyawaku."
Wanita paruh baya itu sontak kaget, "Benarkah?! Apa alasan seseorang akan membunuhmu, Kinar?"
Kinar menarik napas lalu menghembuskannya perlahan, "Aku masih menyeledikinya, tante," ujar Kinar sembari mengangkat bahu.
Yuke berpikir sambil mondar-mandir lalu menghentikan langkahnya. "Kinar, hmm, kalau begini, hmm, sebaiknya biarkan saja publik menyangka kamu telah mati, agar para pembunuh itu tidak mencarimu lagi. Setidaknya untuk sementara waktu kamu bisa selamat dan diam-diam kita mencari tahu apa yang tersembunyi dibalik peristiwa ini."
"Betul itu nak, tante pikir ini satu-satunya cara agar kamu bisa aman untuk sementara waktu," timpal Riyanti.
Hening sesaat, Kinar membuka sedikit pintu ruangan untuk memandang jenazah Dinar diruang sebelah. "Lalu bagaimana dengan Dinar tante? Dia juga punya kehidupan sendiri bukan? Apa kita tidak mengabari keluarganya kalau Dinar telah tiada?"
Riyanti menatap dalam pada Kinar, "Jangan! Rencana kita untuk menyelamatkanmu bisa gagal jika sampai ada yang tahu tentang kebenarannya. Sampai semua aman, kamu harus menggantikan posisi Dinar. Tempat teraman saat ini adalah kamu tinggal di rumah Dinar."
Kinar menahan napas, termenung, ‘Bagaimana ini? Aku tak mengenal bagaimana Dinar dan kehidupannya... Meski kami saudara kembar tapi kami sudah dipisahkan sejak bayi,’ ucap Kinar dalam hati.
Riyanti menyentuh bahu Kinar, "Kamu tak usah khawatir, Nak. Tante yang akan mengatur."
"Tapi tante..."
**
Kinar berdiri cukup lama di depan pintu sebuah rumah dinas yang cukup sederhana.
Rumah dinas Serka Adnan Ibrahim. Seribu keberanian sudah ia kumpulkan untuk mendatangi rumah itu namun sejuta keraguan dan ketakutan pun bersamanya. "Bagaimana ini Ya Tuhan..." Kinar menutup mata, "Dinar, maafkan aku... aku terpaksa memakai identitasmu... "
Kinar mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu, namun ia urungkan lagi, "Bagaimana ini, Ya Tuhan..."
Kinar menutup matanya, ia berkaca-kaca mengenang kematian Dinar yang tragis karenanya.
"Bunda... " Seorang bocah perempuan mendatanginya dari arah belakang. "Bunda datang lagi ke rumah ini?" Kata bocah perempuan itu riang. Kinar bisa merasakan kerinduan yang besar dimata gadis itu. Kinar bertanya-tanya dalam hati, ‘Apakah ini Aila, anak Dinar saudaraku. Lalu kenapa ia mengatakan seperti itu... Datang lagi ke rumah ini??? Apa maksudnya? Apakah memang sebelumnya Dinar pergi dari rumah?’ Banyak sekali pertanyaan yang muncul dikepala Kinar. Ia jadi teringat saat ditemukannya jenazah Dinar dikamar hotel itu, ia sedang bersama seorang pria, dan tanpa busana...
Kinar membungkukkan badannya, "Aila, sini sayang... Bunda rindu sama Aila makanya bunda pulang." Kinar mulai memainkan sandirawanya meski sejujurnya hatinya benar-benar tersentuh oleh pertemuannya dengan Aila. Kinar memeluk Aila, ia menitikan air mata, ‘Ya Tuhan, apakah aku harus memainkan peran ini. Seandainya aku jujur... Bagaimana perasaan Aila jika mengetahui ibunya sudah tiada, kenapa aku jadi tak tega, apalagi Dinar meninggal dalam keadaan seperti itu... Pasti akan membuat keluarganya kecewa dan terluka,’ gumam lirih Kinar dalam gejolak batinnya.
"Bunda rindu sama Aila?" Aila menatap wajah Kinar yang disangka ibunya, "Biasanya bunda selalu memarahi Aila," celoteh Aila lagi, bocah perempuan berusia lima tahun itu.
Kinar terdiam beberapa detik lalu senyum mengembang di wajahnya, "Maafkan bunda ya sayang..."
Aila merasa senang saat Kinar meminta maaf padanya.
Kinar menoleh pada seorang bocah laki-laki yang bersembunyi dibalik pintu. Ia mengira-ngira bahwa bocah laki-laki itu kemungkinan adalah Evan, anak adik Adnan. Sebelumnya Kinar telah diberitahu oleh Riyanti, tantenya, bahwa di rumah Dinar juga ada seorang anak lagi selain Aila, dia bernama Evan, anak dari adik Adnan. Adik Adnan meninggal setelah melahirkan Evan, sedangkan ayahnya tak tahu siapa, karena adik Adnan tak pernah membicarakan siapa ayah kandung Evan.
Evan terlihat bersembunyi melihat kedatangan Kinar, ia ketakutan, Kinar menyadarinya. Kinar tersenyum dan mengulurkan tangannya, "Evan, sini sayang..."
Bocah laki-laki berusia empat tahun itu tak bergeming, ia masih takut dengan kedatangan Kinar.
"Ada apa Evan? Sini..." Panggil Kinar lembut.
"Evan takut sama bunda, karena bunda selalu memukulinya," celoteh Aila.
‘Astaga, apakah Dinar berbuat seperti apa yang dikatakan Aila, ya ampun... Seperti apa sebenarnya Dinar?’ gumam Kinar.
"Tidak, bunda janji mulai hari ini akan lebih baik, dan sayang sama Aila dan Evan." Kinar tersenyum hangat, "Oh, ya, bunda ada hadiah buat Aila dan Evan," kata Kinar sembari mengeluarkan kotak musik bergambar princess untuk Aila dan Robot-robotan buat Evan. Evan lama kelamaan mulai mendekat pada Kinar meski masih takut-takut. Kinar memperhatikan Evan, memperhatikan cara berjalan Evan yang tak sempurna, ‘Astaga anak ini cacat kakinya,’ ucap Kinar dalam suara hatinya, matanya mulai berkaca-kaca, ‘Ya Tuhan anak sekecil ini...’
SELENGKAPNYA DI BUKU BATALYON ABSTRAK 2
pemesanan langsung ke :
Penerbit Harfeey Yogyakarta
ketik : judul buku_nama&alamat lengkap
sms ke : 081904162092

7 komentar: