Translate

Jumat, 19 Desember 2014

BATALYON ABSTRAK 2 (Peti Mati)

Cerpen : Peti Mati
Penulis : Bunga Rosania Indah
Model : Erni
Keponakanku lari tergopoh-gopoh menghampiriku yang berada di dalam rumah.
"Tante-tante, ada orang berantem diluar," ujarnya dan tentu saja membuatku panik.
"Fika jangan keluar! Ayo masuk!" Aku menarik Fika, keponakanku yang sedang liburan sekolah di rumahku yang baru. Suamiku menempati jabatan baru yaitu sebagai Danramil di sebuah koramil di daerah terpencil dan susah terjangkau transportasi. Aku mengajak Fika masuk lalu segera mengunci pintu rumah.
Kulihat Fika gemetar, namum sebenarnya aku pun gemetar, beberapa kali aku mengintip dari jendela. Kulihat satu orang lelaki mengamuk sambil membawa golok, lalu membacok beberapa orang, namun yang dibacoknya itu masih sanggup lari.
Seketika jantungku berdetak cepat saat lelaki yang mengamuk itu melihat kearahku, spontan tanganku menutup gorden meski jendela sudah kukunci sejak tadi.
Duh, om-om di Pos pada kemana sih kok nggak melerai mereka. Oh, iya, aku teringat. Sebagian besar mereka termasuk suamiku sedang turun bukit melerai pertikaian antar suku yang terjadi sedangkan di Koramil hanya ada dua tentara piket.
"Tante," panggil Fika. Aku menoleh. "Tante, kok diluar banyak orang berteriak." Aku tak menjawab Fika, aku sendiri pun takut. Aku takut jika laki-laki itu mendobrak pintu, masuk dan membacok kami juga. Aku masuk kamar Rozi dan kuajak Fika juga, Rozi anakku yang baru berusia 5 tahun itu masih tertidur lelap.
Tok. Tok. Tok.
"Tante, ada yang ngetok-ngetok pintu," ucap Fika. Secepat kilat aku berpikir, kalau orang emosi tak mungkin akan mengetuk pintu, hmm, mungkin itu tentara piket.
"Fika, kamu tetap berada dikamar ya sama Rozi." Fika mengangguk. Dan Rozi mulai bangun, mengucek-ngucek mata.
"Ma!" Panggil Rozi.
Aku menaikkan telunjukku ke bibir, "Sstt! Diam. Nanti mama kemari lagi."
Fika mendekati Rozi dan merangkulnya agar tak takut.
Meski ragu, aku terus melangkah ke pintu. Sejujurnya aku takut, takut kalau orang kalap tadi yang berada dibalik pintu. Masih teringat jelas sorot matanya yang bengis saat aku mengintip di jendela tadi.
"Si-si-a-pa?" Tanyaku terbata.
"Saya Bu, Pak Tri."
Lega rasanya dan segera kubuka pintu.
"Pak Tri dari mana saja tadi? Apa nggak tahu ada orang bertikai di jalan?"
"Enggak, Bu. Tadi saya keluar sebentar mengantar pulang Pak Tatang, darah tingginya kumat, Bu. Katanya kepalnya pusing hebat dan serasa mau pingsan, jadi saya antar saja dia pulang."
Aku ikut cemas atas keadaan Pak Tatang, "Astaga. Trus hari ini Pak Tri piket sendirian?"
"Iya, Bu. Nggak apa-apa. Hmm, hanya saja saya mau tanya, kok di depan jalan ada mayat tergeletak."
Aku sontak kaget, "Dimana Pak?"
Akhirnya aku dan Pak Tri berjalan kedepan. Aku kembali terkejut saat kutahu mayat siapa itu, dia adalah orang bengis yang membacok orang-orang tadi. Namun kini malah dia yang mati. Ada beberapa luka bacok di kepala, leher, dada dan tangannya.
Aku menceritakan kesimpulanku pada Pak Tri, kemungkinan setelah mengamuk dan membacok orang, korbannya lari meminta bantuan dan balas membacok si pelaku.
"Bagaimana ini Pak?" Tanyaku gugup. "Hmm, mana di koramil nggak ada orang. Pada turun bukit semua dan baru kembali besok."
Pak Tri berjalan cepat menuju pos, "Saya telepon kepolisian saja Bu, dan minta ambulans datang kemari." Tak lama Pak Tri muncul lagi, dan berujar, "Bu, ambulans baru bisa datang besok pagi, katanya mereka siaga pada korban kerusuhan yang semakin bergelimpangan."
Aku mendelik, "Lalu mayat ini sementara digimanain? Masa dibiarin berada dijalan kayak gini, Pak?"
Pak Tri terlihat bingung. Aku jadi teringat ada sebuah peti yang tergelatak di belakang rumah jabatan.
"Hmm, begini saja deh, Pak. Itu kab dibelakang ada peti barang, mayatnya kita tarok saja di peti itu sementara sampai besok ambulans datang."
Pak Tri menelan ludah, air mukanya agak beda, "Itu peti... Peti... Peti milik Pak Jumari, Bu."
"Oh, milik Danramil sebelumnya? Trus masak mayatnya dibiarin kelihatan begini, nanti anak sama keponakan saya takut."
"Tapi, Bu, peti itu... Hmm..."
Aku tak tahu apa maksud Pak Tri dan ekspresinya yang cemas itu namun akhirnya ia mengikuti saranku, memasukkan mayat itu sementara ke dalam peti sampai ambulans datang dan membawanya.
Berdua bersama Pak Tri kugotong mayat itu masuk ke dalam peti. Sudah kubulatkan tekad meski darah amis mayat itu kurasakan menempel pada telapak tanganku, daripada Rozi maupun Fika melihat mayat itu tergelatak akan membuat mereka takut. Mending ku masukkan saja ke peti.
"Sudah beres!" akhirnya peti berisi mayat tanpa identitas itu sudah ditarok di depan halaman koramil, tinggal menunggu ambulans besok pagi, kuharap bisa datang lebih cepat.
Pak Tri kembali ke Pos dan aku masuk ke dalam rumah yang bersebelahan tepat di samping pos koramil.
Aku segera masuk rumah, mencuci tangan dari noda darah.
Sekilas bayangan wajah mayat itu terbesit diingatan, rasanya bulu kuduk meremang.
Aku mengambil sabun dan melumurinya di tanganku, kubasuh dengan air sebanyak-banyaknya. Namun tiba-tiba bulu kudukku meremang, aku merasa ada yang berdiri dibelakangku. Aku reflek berbalik dengan menahan napas.
"Fika? Kamu dari tadi berdiri dibelakang tante, ya?"
Fika menggeleng, "Baru saja kok, tante. Anu... Itu." Fika menunjuk ke arah pundakku. Aku bingung, lalu kutolehkan kepalaku, mataku membelalak, terkejut dengan sebuah darah yang membentuk gambar telapak tangan.
"Itu gambar tangannya siapa, tante?"
Aku menelan ludah, kuingat-ingat lagi kejadian saat mengangkat mayat tadi, aku tak merasa tanganku menyentuh pundak, apalagi tangan Pak Tri, pasti bukan dialah. Lalu bekas telapak tangan siapa ini???
SELENGKAPNYA DI BUKU BATALYON ABSTRAK 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar